Sabtu, 24 Juli 2010

Sepotong Singkong Untuk Nenek

___ Cerpen ini buatan sodara saya.. ___

Siang itu begitu terik. Mentari berada penuh di singgasana. Merasa bangga dan tertawa atas dirinya. Sungguh, hanya orang edan yang tidak terasa dipanggang.
Sesosok tubuh kecil berlari cepat, mengejar selamat. Menerobos pohon-pohon singkong, menginjak-injak tanah tak sopan. Ia sampai di pinggir kebun singkong, dengan lincah ia melompati sebuah irigasi yang sudah tak berair, hanya ada tanah dan batu yang mongering. Kaki kecil tak beralas itu berlari lagi.
Kira-kira 20 meter dari rumahnya, gadis kecil itu menghentikan larinya. Ia berjalan pelan dan mengatur nafas. Matanya terpaku memandang ke depan, ke rumahnya. Rumah dengan ukuran kecil berdinding bamboo, dan berlantai tanah itu sangat tua. Gentingnya yang mulai pecah dan bergeser membuat si penghuni merasa kesal saat hujan.
“Nek . . .” suara Ning sedikit keras memnggil neneknya. Matanya menerobos mencari yang dipanggil. Tak lama, seorang wanita tua menyibak hordeng yang sudah lusuh.
“Darimana Ning?”
“Tadi aku main sama Lina, terus di jalan aku nemu ini,” jawab Ning sambil menunjukkan dua buah singkong yang ada di tangannya.
“Benar? Bukannya itu singkongnya pak Gusman?” tanya Nenek menyelidik.
Ning diam. Bibirnya tak mau mencoba berdusta. Hatinya ciut. Pasti neneknya juga sudah tahu kalau dua hari kemrin dia juga nyolong singkong di kebunnya pak Gusman.
“Ning, nenek kan udah berkali-kali bilang jangan mencuri. Dosa! Tadi bu Gusman datang kesini, dia mencari kamu. Dia bilang kalau kemarin lusa kamu mencuri di kebunnya. Nenek malu. Kamu masih tujuh tahun dan wanita pula. Kok udah pinter nyolong,” lanjut nenek.
“Tapi aku lapar nek. Kita udah dua hari tidak makan. Cuma minum air putih sama tadi pagi makan jambu layu sisa kemarin. Kebun pak Gusman luaaa . . . aas banget. Pasti dia ikhlas nek,” jawab Ning mencoba membela diri. Matanya mulai berkaca-kaca.
Nenek memandang wajah Ning penuh iba. Anak seusia Ning harus mengalami takdir yang sungguh tidak bisa dibilang bagus. Harusnya ia bisa bersekolah seperti teman-temannya. Makan makanan enak dan bergizi, memakai baju yang setidaknya tidak sobek dan pudar karena terlalu sering dicuci. Tapi, sejak usia enam tahun, ia sudah terbiasa berpuasa.
Bapak dan Ibu Ning sudah berpulang. Keduanya meninggal dalam kecelakaan. Saat itu Ning masih berusia enam belas bulan. Dan sejak saat itu, Nene sendirian merawat Ning. Mereka berdua tinggal di rumah reyot peniggalan orang tua Ning, yang sering nenek sebut sebagai gubuk. Nenek hanyalah seorang pemulung sampah. Penghasilannya tak seberapa. Uang bayaran hari itu, habis untuk makan hari itu juga. Dan Ning, hanyalah gadis kecil tak berdosa yang bernasib kurang baik.
Karena tak sanggup melihat wajah Ning yang memucat, nenek akhirnya memenuhi permintaan Ning untuk membakar singkong itu. Lalau mereka makan bersama. Nenek sudah tak ingat dengan nasihat-nasihatnya tadi. Yang ia tahu, perutnya dan perut Ning memanggil-manggil untuk diisi.

_________________

Nenek meletakkan keranjang sampah di samping rumah. Badan tuanya terasa lelah dan letih. Ia melangkah masuk ke rumah. Hendak mandi dan shalat ashar.
“Ning, kamu kenapa?” nenek terkejut saat memasuki kamar, mendapati Ning sedang menangis di sudut ruang.
“Nek, kapan aku sekolah?” ujar Ning di sela tangisnya.
“Sekolah? Lho, kamu ini kenapa kok tiba-tiba tanya sekolah?”
“Tadi pagi waktu aku ke rumah Lina, dia lagi sarapan mau berangkat sekolah. Aku juga pengen sekolah. Biar bisa baca kaya’ Lina,” Ning melihat ke bawah. Kakinya yang mungil kusam kena’ debu.
“Ning, nenek pengen, pengen banget kamu bersekolah. Belajar dan menjadi pintar. Tapi mau bayar pake’ apa to Ning?”
Nenek duduk memeluk gadis kecil itu. Menyatukan rasa dan asa. Merasakan yang dirasa.
“Ya sudah, kita shalat ashar aja yuk. Berdo’a supaya Alla member kita rejeki yang banyak,”
Ning mengikuti langkah neneknya. Otaknya tak berhenti bekerja. Mencoba memahami kata-kata yang baru saja mampir di telinganya. Mencari makna yang bisa ia terima.

_______________

Sudah dua hari Ning tidak menemukan satu butir nasi pun di atas meja makannya. Hanya ada air dingin di dalam kendi. Tadi pagi ia hanya sahur dengan papaya pemberian tetangganya kemarin sore dan ia bagi dua dengan neneknya. Sudah tiga hari nenek sakit. Uang telah habis. Dan mereka tidak mendapat uang untuk makan sekarang. Badan nenek panas dan mukanya pucat. Sesekali terdengar ia terbatuk-batuk. Terkadang ia memegangi perutnya menahan perih karena sudah dua hari tidak makan. Ning merasa sangat kasian melihat keadaan neneknya. Ia ingin sekali membawa neneknya berobat. Tapi, apa yang nisa ia lakukan?
Hujan pagi itu sangat tidak menyenangkan bagi Ning. Tentu saja atap rumah mereka yang sudah usang tidak mungkin dapat menahan derasnya hujan. Tetesan air ada dimana-mana. Lantai mereka yang dari tanah menjadi becek dibuatnya. Berbeda dengan penduduk desa yang memuja-muja ke-Agungan Tuhan karena hujan tadi pagi adalah jawaban do’a mereka setelah sekian lama kemarau panjang.

________________

Sudah empat hari nenek sakit. Ia masih terbaring lemah di tempat tidur. dan perut mereka masih tetap seperti kemarin. Kosong! Ning duduk di pinggir kasur. Matanya tak henti menatap sosok wanita tua yang terlihat pucat itu. Demam neneknya belum turun. Ning menangis tanpa suara. Sendirian ia meratapi nasibnya. Dia hanyalah gadis kecil yang tak kenal apa itu nasib. Yang ia tahu, siang itu main dan malam itu tidur. dan salah satu kemewahan hidup yang ia anggap surge adalah makan.
Tiba-tiba nenek terbatuk-batuk. Saat nenek berhenti batuk, Ning melihat dengan mata jengkolnya ada darah kental di telapak tangan neneknya. Cepat-cepat Ning mengambil lap dan membersihkan tangan neneknya. Tangisnya semakin deras seirama dengan hujan di luar.
“Nenek kenapa?”
Nenek hanya tersenyum dan berbaring lagi. Tiba-tiba Ning berlari keluar. Hujan sudah tak begitu deras, tapi mendung masih hitam menyelimuti. Dimana-mana genangan air. Jalan aspal itu menjadi basah semakin hitam.
Ning sampai di rumah yang ada plang putih di depannya. Satu kata pun di plang itu tak ada yang dapat Ning baca. Ning tidak hafal huruf, ia bukan anak sekolahan. Ah, Ning tidak peduli dengan plang putih dan semua tulisannya. Ia melangkah perlahan. Keramik putihh teras rumah itu menjadi bermotif kaki anak kecil.
“Assalamualaikum, bu dokter,” Ning mengucap salam.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu, Ning melihat seorang wanita muda cantik Nampak di depannya. Melihat Ning dengan tatapan heran. Mata wanita itu memandangi rambut kusut Ning, baju lusuh Ning yang basah kena’ hujan, dan kaki dekil yang membuat terasnya menjadi kotor.
“Bu dokter, nenekku sakit. Tolonglah kami. Aku ingin bu dokter meberinya obat agar lekas sembuh. Sudah empat hari ia hanya tidur dan ternbatuk-batuk. Tapi . . .” kata-kata Ning terputus tersekat di tenggorokan.
“Kami tidak punya uang,” lanjut Ning lirih. Air matanya menetes begitu saja.
“Emm, adik kecil, bu dokternya gak ada. Mungkin besok baru pulang. Sekarang kamu pulang aja ya. Udah sore ini,” kata wanita yang Ning panggil bu dokter.
Wanita itu menutup pintunya. “Ahh . . . ganggu orang lagi tidur aja,” kata wanita itu dari dalam. Ia tidak peduli pada Ning yang sudah kedinginan di luar. Terduduk menangis di lantai. Ning memandang lurus kedepan. Ia bayangkan wajah neneknya yang sedang terbaring. Wanita tua yang selama ini telah merawatnya, menjaganya, dan membesarkannya.
“Ning, bajumu kok basah, kamu darimana?” tanya nenek yang berdiri mematung di samping tempat tidur.
“Tadi aku ke rumah bu dokter. Tapi katanya dia gak ada,”
“Mau ngapain?”
“Aku mau minta obat buat nenek, biar cepet sembuh,”
“Mau bayar pake’ apa Ning? Obat dokter itu mahal,”
“Aku mau minta satu . . . uuuu aja,” ujar Ning polos.
Nenek tersenyum, “Udah, Ning gak usah khawatirin nenek,”
“Kalo’ nenek mati gimana?” tanya Ning lirih, takut neneknya marah.
Lagi-lagi kepolosan Ning menciptakan senyum di bibir neneknya. Lalu ia bangkit dan meraih Ning untuk duduk di sampingnya. “Sini Ning, mati itu Allah yang tahu. Itu namanya takdir.”
Ning diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Setelah beberapa lama berdiam, Ning bergeming, “Aku lapar nek,”
Kali ini kepolosan Ning bukan menciptakan senyuman yang mengembang. Melainkan hati nenek terasa diiris mendengarnya. Ia baru ingat, kalau ia dan cucunya belum makan empat hari ini. Nenek mendekap Ning erat. Mereka bertangis-tangisan berdua. Mencoba menerima nasib dan percaya takdir.

_______________

Ning meringis kesakitan di pembaringannya. Disampingnya, nenek masih tidur dan batuknya bertambah parah. Ning terbangun. Ia tahu hari telah pagi. Ia berjalan ke depan. Sisa-sisa hujan tadi malam masih terlihat. Daun-daun masih basah, jalanan becek, dan langit pun masih gelap. Mata Ning menatap ke atas. Ia teringat Allah, neneknya selalu mengingatkannya untuk berdo’a.
“Ya Allah, aku dan nenek sedang sedih. Perutku sakiiii . . .it sekali. Mungkin sudah benar-benar kosong. Nenek sakit. Tidak ada yang mencari uang. Allah tolong kami ya. Amien,” kedua tangan Ning yang ia angkat di depan dada ia sapukan pada wajahnya.
Ning berjalan ke arah sawah. Melompati irigasi yang berlumpur dan masih Nampak batu-batu yang berukuran sedikit besar. Wajah bocah ini pucat, badannya panas dan kakinya lemas. Tapi, ia tetap berjalan siapa ia menemukan yang ia cari. Sempat terfikir untuk nyolong lagi. Tapi ia urungkan. Neneknya pasti akan marah-marah kalau ia melakukan hal itu lagi.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, Ning melihat ada kepulan asap di pinggir kebun pak Gusman. Entah setan darimana yang membuatnya menghampiri sumber asap itu. Tak sampai satu menit ia telah berada di tempat yang dituju. Matanya terbelalak girang. Ia melihat ada sebuah singkong yang kulitnya gosong disitu. Pasti sudah matang. Kepalanya celingukan ke kana dan ke kiri. Matanya memeriksa setiap sudut yang memungkinkan. Tak ada orang. Pasti ini sudah tak dimakan lagi. Tanpa pikir panjang Ning mengambil singkong itu dan menggenggamnya erat. Ia berjalan pulang dengan riangnya tak sabar menemui neneknya. Karena hari ini mereka akan makan.
Namun belum ada sepuluh langkah ia beranjak, suara seseorang mengagetkannya. “Hei, mau nyolong lagi ya?”
Ning melihat Pak Gusman berdiri tak jauh di belakangnya. Dengan semua sisa-sisa tenaganya, Ning mengambil langkah seribu. Dia berlari menerobos pohon-pohon singkong di depannya. Tapi, Pak Gusman yang sudah sangat geram terhadap Ning tak mau kehilangannya. Terjadilah aksi kejar-kejaran di kebun itu. Ning sampai di pinggir kebun. Ia merasa kakinya lemas, kepalanya pusing. Tenaganya terasa terasa habis setelah berlari. Namun, ia kumpulkan sisa-sisa tenaganya dan mencoba melompati irigasi. Naas! Ia tak sampai dan terjatuh. Kakinya menghantam batu besar yang ada di dalam irigasi. Ah, lututnya berdarah. Tapi bukan itu yang Ning sesalkan. Singkongnya jatuh dan salah satu bagiannya kotor kena’ lumpur. Tangan kecil Ning yang sudah semakin kurus mencoba menggapai singkong itu. Belum sempat ia ambil Pak Gusman datang dan menyeretnya dari situ.
“Mau kemana kamu setan kecil? Enak saja mau mencuri. Emang kau pikir, nanemnya gak butuh duit?” ujar pak Gusman geram.
“Maaf pak, aku tidak mencuri. Aku cuma . . . “
“Cuma apa? Nyolong? Itu sama saja,” potong Pak Gusman.
“Tapi aku tidak nyolong. Aku cuma ngambil singkong bakar sisa itu,”
“Alah, alasan. Mau membantah?” bentak Pak Gusman dengan mendekatkan mukanya ke wajah Ning. Ning ketakutan dan mulai menangis. Matanya sesekali memandangi singkong yang jatuh itu.
“Aku tidak membantah pak. Aku tidak nyolong,”
Karena Ning tak kunjung mau mengakui apa yang dituduhkan Pak Gusman adalah benar, Pak Gusman semakin marah. Lalu, PLAK! Tangan kasarnya menyentuh keras pipi halus itu, hingga menjadi merah. Ning semakin takut dan terus menangis.
“Akan ku bawa kau ke pak RT, pencuri harus dihukum,” tangan pak Gusman dengan kasar menyeret tangan kecil Ning.
“Jangan Pak, aku tidak mencuri. Aku hanya mengambil singkong bakar itu. Aku dan nenek sudah lima hari tidak makan. Sekarang nenek sakit. Aku hanya ingin nenek makan walau hanya dikit. Percayalah pak,” Ning mencoba menjelaskan dengan air mata berderai-derai.
Pak Gasman menghentikan langkahnya. Genggaman tangannya melemah. “Benar?”
“Benar. Sumpah, aku tidak bohong! Biarkan aku pergi pak. Dan aku tidak akan pernah kembali lagi. Biarkan kami makan,” tutur Ning memelas.
Tangan Ning lepas. Pak Gusman memandangi gadis kecil itu terseok-seok langkahnya turun masuk ke irigasi mengambil singkong bakar yang yang sudah kotor itu. Sambil menangis, ia bersihkan bagian yang terkena lumpur dengan bajunya. Ia tak peduli bajunya menjadi kotor kena lumpur dan hitam arang. Setelah itu terpincang-pincang ia berjalan pulang. Pak Gusman mengikuti punggung Ning hingga hilang di belokan. Laki-laki itu meneteskan air matanya.
Ning menyiram lututnya dengan air. Aduh, perih! Lalu ia berjalan ke kamar dengan riangnya. Ia genggam singkong itu hingga tangannya ikut hitam.
“Nek, aku punya makanan. Ayo bangun,” kata Ning yang duduk di samping neneknya.
Nenek membuka matanya. Dengan lemah sekali, ia bangkit dan menjajari Ning. Ning memotong singkong menjadi dua. Dan memberikan bagian yang agak besar untuk neneknya.
“Kamu mencuri lagi Ning?”
“Nggak nek. Ini aku nemu. Sumpah!” ujar Ning sungguh-sungguh.
Nenek tak bertanya lagi. Ia tak ingin cucunya kecewa. Lalu ia makan singkong yang ada di tangannya. Ning pun melakukan hal yang sama. Dada nenek terasa disayat. Mengapa begitu kejam hidup ini? Untuk makan singkong sepotong saja kok susahnya minta ampun. Bagian masing-masing telah habis. Namun perut tetap perih menyiksa.
“Ning, ayo tidur sama nenek sini,”
Ning nurut. Kepalanya memang pusing dan badannya terasa gemetar.
“Nek, peluk aku ya. Aku ngantuk pengen tidur,” kata Ning liriiiih sekali. Tangan nenek melingkari dada Ning. Ning perlahan menutup matanya. Saat itu ia bermimpi. Ia memakai seragam merah putih dan sedang bermain bersama Lina. Lalu duduk dan membaca bersama. Ning bersekolah. Senangnya hari itu. Saat pulang, Ning dijemput ibu dan bapaknya. Ia berlari dengan tawa mengembang. Dengan sigap, bapaknya menggendongnya.
“Pak, kita mau kemana?” tanya Ning yang masih dalam gendongan.
“Pulang.”
“Ning ikut ibu sama bapak ya!” kata ibu yang berjalan di samping bapaknya.
“Iya,” jawab Ning riang sekali.
Tangan nenek merasakan detak jantung Ning lemah dan semakin melemah. Tubuh cucunya terasa dingin. Mata nenek berkunang-kunang. Ia merasa kepalanya berat sekali. Lalu perlahan ia menutup matanya.
“Lailahaillallah Muhammadarasulullah,” kalimat terakhir nenek ucapkan bersamaan dengan hembusan nafasnya yang terakhir.






By : Sevilla

Maaf, Lily!

___buatan sodaraku lagi___


Aku berjalan menyusuri gang. Rumahku masih sedikit jauh, yang memang letaknya di ujung gang. Panas matahari yang membakar membuatku merasa sangat haus. Ingin ku percepat langkahku. Tapi, tenagaku rasanya sudah habis. Huhh, ayo semangat Lily!
Sampai di depan pintu rumah, ku buang nafas lega. Ku lepas sepatu yang baru dua hari kemarin ku beli di tukang loak. Maklum, uang tabunganku tak cukup membeli sepatu mahal. Tiba-tiba dari arah dalam ku lihat Ayahku datang dengan muka penuh amarah.
“Dariman saja kamu?” bentak Ayah mengagetkanku.
“Aku pulang sekolah Ayah. Tadi, angkotnya lama jadi aku sedikit telat,” jawabku takut.
“Sudah berani berbohong ya?” kali ini bentakannya diimbuhi jambakan di rambutku.
“Aku tidak bohong, Ayah,” kataku membela diri.
“Sudah, cepat masuk. Aku lapar, masak sana!” kata Ayah sambil mendorongku masuk. Aku menganguk dan langsung masuk kamar. Mengganti pakaian dengan cepat dan langsung ke dapur. Aku tidak mau dengan alasan aku lama di kamar Ayah harus menjambak rambutku lagi.



Jam dikamarku sudah menunjukkan pukul 23.02. Aku belum bisa tidur. Mengantuk pun tidak. Aku rebahkan badanku di atas kasur yang keras ini, yang sungguh sering membuat puggungku sakit. Tiba-tiba hand phone ku bordering. Ramdan?
“Hallo . . .” suaraku pelan mengawali. Karena kalau Ayah sampai mendengar suaraku, pasti akan ia jadikan alasan untuk menamparku.
“Hai Lily, belum tidur?” tanya Ramdan lembut.
“Belum. Aku gak ngantuk dan. Kamu sendiri?”
“Aku juga. Aku kepikiran kamu Ly,”
“Ngapain mikirin aku?”
“Aku tahu kamu lagi sedih Ly. Certain aja sama aku. Aku pasti dengerin,” tawaran Ramdan begitu tulus terdengar. Aku terdiam sesaat. Darimana dia tahu aku lagi sedih?
“Tadi siang di sekolah, Tania mengatai-nagataiku. Dua hari yang lalu dia melihatku membeli sepatu di tikang loak. Terus, waktu aku lagi ngaca di WC sekolah, Sandra bilang kalau aku itu jelek, buat apa ngaca? Aku tahu aku jelek, jadi dia gak perlu teriak-teriak sekeras itu. Dan satu lagi, Dio, melempar tasku ke atap waktu pulang sekolah tadi. Aku harus bersusah payah mengambilnya sampai aku pulang telat dan Ayahku marah-marah sampai menjambak rambutku,” aku bercerita panjang lebar hingga air mataku mulai jatuh satu-satu. Ramdan terdiam mendengarku menangis. Ia tak mencoba mengatakan sesuatu yang kiranya bisa menenangkanku. Tapi itu sudah adatnya.
“Ly, kamu itu kuat kok. Jadi gak perlu nangis,” ucap Ramdan di akhir telfon. Dia sering mengatakan itu padaku selama enam bulan aku berpacaran dengannya. Aneh memang. Aku dan Ramdan berpacaran tapi sekali pun belum pernah bertatap muka. Aku mengenalnya hanya lewat suaranya. Memahami dirinya dari setiap kata yang terucap. Sedikit pun tak pernah terbesit niatku untuk mengajaknya bertemu. Aku takut dia akan menjauhiku setelah ia tahu bahwa Lily itu hanyalah gadis jelek, hitam, miskin, dan selalu jadi bahan hinaan di sekolah. Ramdan sangat baik padaku. Selalu ada saat aku sedang butuh teman. Selalu mengerti perasaanku tanpa harus aku memberitahunya. Kadang aku berpikir, mungkin Tuhan mengirim malaikatnya untuk menemani kesendirianku dalam wujud Ramdan.




“Ibu . . . Apa kabar? Maaf, aku jarang mengunjungi ibu. Ayah akan marah besar kalau aku pulang telat. Aku kesepian tidak ada ibu di rumah. Setiap jam, setiap menit, setiap saat, aku selalu merindukan ibu. Aku berharap ibu bisa mendengarku. Kata Ramdan aku itu wanita yang kuat. Tapi, dia salah. Aku tidak cukup kuat menjalani kehidupanku yang jauh dari bahagia. Aku wanita yang lemah. Kenapa ibu tidak mengajakku pergi bersama ibu? Tega sekali ibu meninggalkan aku sendirian,” isakku di depan makam ibu, yang kiranya sudah dua tahun silam ibu disemayamkan.
Setelah beberapa lama aku berada di makam ibu, aku bergegas pulang. Hari ini ada jadwal les di sekolah. Tapi, aku membolos. Kalau tidak nyolong-nyolong waktu gini, tidak akan pernah ada waktu untuk mengunjungi makam ibu. Memang letaknya tidak jauh dari rumah. Tapi Ayah akan marah besar bila tahu aku ada disini. Aku tak mengerti mengapa Ayah sangat mambenciku. Berbeda sekali saat aku masih kecil dulu. Ia sangat menyayangiku. Semua berubah saat Ayah dipecat dari pekerjaannya. Ia menjadi lelaki temperamental. Mungkin ia frustasi, atas kejadian dua tahun silam itu. Tapi itu sudah sangat lama kan? Harusnya Ayah bisa melupakanya dan menjalani kehidupan baru bersamaku.
Rasanya aku ingin mati saja. Ragaku tak sanggup menerima siksaan Ayah yang tak ada habisnya. Batinku terlalu lelah menangisi hidupku yang sendiri tanpa ibu. Dan tanpa alasan yang jelas, ada satu kelompok geng di sekolah yang sangat membenciku. Aku tidak pernah merasa mengganggu mereka. Tapi, mengapa mereka tak berhenti menghina dan mengerjaiku?




Aku berjalan menunduk kesal. Kedua tanganku mencubit-cubit bagian bawah bajuku. Ku percepat langkahku menjauhi suara tawa keras yang menyakitkan kupingku. Tak berani sedikit pun aku menengok ke belakang. Bahkan sudah sejauh ini suara tawa Tania, Sandra, Putri, Beni, masih jelas terdengar menertawaiku yang sengaja didorong Dio masuk ke got. Dan dengan suara keras yang dibuat-buat Tania berkata, “Aduh, sepatu baruku jadi kotor deh!”
Cukup Lily! Jangan menangis. Lily itu kuat. Aku kuaaaat! Hatiku memprotes keras tindakan lemah yang baru saja aku lakukan. Menangis. Tapi rupanya mataku tak sekuat protesku. Air mata terus saja mengucur deras. Aku berlari ke kamar mandi.
Ku usap wajahku dengan air keran. Kini air mataku telah bertemu air yang lain. Menambah basah wajahku. Ya Tuhan, dosa apa aku ini? bisik hatiku mencoba mengharap keadilan Tuhan. Tiba-tiba kurasakan pundakku disentuh seseorang. Spontan aku berbalik. Dan . . .
“Hhahahaha . . .” Tania dan Putri tertawa terbahak-bahak melihat bajuku ikut basah karena satu ember air yang mereka siramkan ke arahku.
“Orang kaya’ kamu itu, kalo’ cuci muka butuh air satu ember biar bersih. Tapi Tan, kasian deh bajunya jadi basah. Nanti dia bisa masuk angin,” ujar Putri.
“Oh iya, mau minyak kayu putih gak?” tanya Tania seraya mendekatiku.
“Nggak, makasih,” ucapku pelan.
“Gak mau minyak kayu putih ya? Ya udah nih aku kasih balsam,” Tania berusaha mengoleskan balsam pada wajahku. Aku berhasil mengelak dan hanya tanganku yang terkena balsam. Mereka kembali tertawa. Aaah, aku benci suara itu. aku berlari menuju kelas dengan keadaan basah kuyup untuk mengambil tas, karena sudah waktunya pulang.
Aku masih berada di dalam kelas menunggu semua orang pulang, terutama Tania dan teman-temanya. Aku lebih suka pulang paling terakhir daripada harus bersama mereka. Aku tidak mau ada keisengan mereka lagi yang harus membuatku pulang telat. Dan kini kelas telah kosong. Sepi. Aku terdiam dalam hening. Tertunduk menahan sedih. Terpaku tak bergerak.
Kurasakan hand phone di dalam tasku bergetar. Sembari melangkah keluar ku ambil hand phone ku dan . . . Ramdan? Aku tersenyum senang. Disaat seperti ini dia selalu hadir tanpa diminta.
“Ada apa Lily?” tanya Ramdan yang membingungkanku. Harusnya aku yang bertanya begitu.
“Aku tahu kamu pasti lagi sedih. Certain aja!” lanjut Ramdan yang semakin membingungkanku. Darimana dia selalu tahu kalau aku lagi sedih? Mungkinkah dia memang malaikat Tuhan yang dikirim untukku?
Tapi akhirnya ku ceritakan semua yang baru saja terjadi. Yang memang membuatku bersedih. Tak ada yang ku sembunyikan. Semua lancar ku buka. Alhasil, perasaan menjadi lebih nyaman sekarang.
“Ramdan, kenapa kau sangat baik padaku?”
“Aku gak bisa jelasin untuk apa semua ini. aku cuma melakukan apa yang seharusnya aku lakukan,”
“Kenapa? Pasti ada alasan dibalik semua ini kan?”
“Kalau begitu kita harus bertemu. Aku akan jelaskan padamu secara langsung.”
“Aku tidak bisa Ramdan,” jawabku pelan.
“Kenapa? Ku mohon Ly,”
“Aku benar-benar tidak bisa,” ujarku cepat dan langsung mematikan telfon.
Aku bingung. Sangat bingung. Aku ingin, ingin sekali bertemu dengannya. Tapi bagaimana kalau setelah tahu aku, dia kecewa lalu menjauhiku. Bodoh! Kenapa aku sejahat ini pada Ramdan. Tak ingatkah aku siapa yang selama ini menemaniku saat aku sedih dan butuh teman. Bahkan tanpa diminta Ramdan selalu hadir menawarkan ketenangan. Ah, aku menyesal telah berlaku seperti ini. Ramdan pasti sangat kecewa padaku. Seharusnya aku mau saja diajaknya bertemu. Kalaupun nantinya dia akan menjauhiku, itu bukan salahnya. Aku tidak boleh egois seperti ini. Kemudian, sebagai tanda sesalku, ku coba menelfon Ramdan. Tak jauh dari tempatku berdiri, ku dengar suara dering telfon. Entah perintah dari mana yang membuatku mencari si sumber suara. Dapat. Kuperhatikan sosok punggung itu. Lelaki itu menerima telfonya bersamaan dengan terdengarnya suara “hallo” di telfonku.
Refleks, ku matikan telfonku. Ku coba mendekati punggung itu seraya menelfon Ramdan lagi. Dan, lagi-lagi dering itu terdengar. Sosok lelaki itu menerima telfonnya lagi.
“Hallo Lily, ada apa?”
Karena tidak ada jawaban, Ramdan mencoba memanggilku lagi, “Lily, kau dengar suaraku?”
“Aku dengar. Sangat jelas, Dio,” jawabku saat aku sudah berada tepat di belakang punggung itu.
“Lily? Kamu ngapain disini?” kata Dio gugup.
“Dio? Kau kah Ramdan?” tanyaku tak percaya.
Dio terdiam sesaat. Ia hanya memandangiku dengan tatapan sesalnya. Rupanya dia ada latihan basket hari ini. aku tahu, karena ia sudah mengenakan baju basket.
“Selama ini aku berpura-pura menjadi Ramdan karena aku kasihan sama kamu Lily. Tapi saat di sekolah aku tetaplah Dio, pacar Tania. Aku tidak bisa menolak ajakan mereka untuk selalu mengerjaimu karena aku sangat mencintai Tania dan hatiku telah buta dibuatnya. Aku tahu kenapa Tania sangat membencimu. Karena dia tak pernah bisa mengalahkanmu dalam segala hal. Jadi, dia berusaha membuatmu tidak betah di sekolah dan berharap kau bisa pindah dari sini. Supaya dia bisa meraih juara satu dan bukan hanya juara dua. Tapi sebenarnya aku tidak tega melihatmu diperlakukan seperti itu. Jadi, aku menjadi Ramdan untuk menolongmu. Aku tahu aku salah. Maaf, Lily!” jelas Dio tanpa diminta.
Dio berjalan meninggalkanku yang sendirian terpaku di tempat. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang aku bisa hanya menangis sekuat-kuatnya. Hatiku sungguh tak dapat menerima penjelasan Dio yang sangat melukaiku. Malaikat yang selama ini aku puja adalah Dio yang tega mendorongku masuk got dan menjadikannya bahan tertawa mereka. Lalu layaknya malaikat ia menawarkan diri untuk menjadi tempat curhatku sebagai Ramdan. Dan semua itu hanyalah KASIHAN??
Gara-gara terlalu lama di sekolah, aku jadi pulang telat. Aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi padaku saat sampai di rumah nanti. Tapi hatiku benar-benar sedang kacau. Aku tak berusaha berjalan lebih cepat agar lekas sampai di rumah. Aku tetap melangkah gontai menyusuri gang. Pengakuan Dio benar-benar membuatku frustasi. Sakit. Sakit sekali yang aku rasakan. Perhatian yang aku rasa sebagai ketulusan ternyata hanyalah sebuah iba.
“Darimana kamu?” tanya Ayah yang sudah duduk menungguku di depan rumah.
“Aku pulang sekolah Yah,” jawabku langsung melangkah masuk ke dalam rumah.
“Heh, Ayah sedang bicara padamu! anak tidak sopan,” kata Ayah yang langsung menamparku. Aku diam. Tubuhku rasanya sudah mati rasa, aku tak merasakan sakit di pipiku yang sudah merah ini.
Ku tatap mata Ayah dengan berani. Dua pasang mata beradu pandang saling menantang. Mataku mulai berair. Tapi pandanganku tak lepas dari sorot mata yang sangat tajam itu.
“Bahkan, mata Ayah pun membenciku. Haha, Memang siapa yang tidak membenciku?” ujarku sambil berlalu. Air mataku menangisi perihnya hatiku karena tamparan tatapan kebencian Ayah.
Aku terduduk lesu di atas tempat tidur. tak lama kemudian, Ku lihat Ayah menyibak hordeng kamarku yang tak berpintu. “Cepat ganti baju dan buatkan kopi untuk Ayah!” katanya kemudian berjalan ke belakang.
Tanpa suara ku berikan kopi yang baru saja aku buat di meja depan Ayah di halaman belakang. Lalu aku berjalan masuk. Tapi baru saja aku sampai pintu dapur, teriakan Ayah mencegah langkahku.
“Kau mau membuat Ayah sakit diabetes?” teriaknya. Aku tak menjawab.
“Coba kau rasakan kopimu ini. Berapa kilo gula yang kau masukan ha?” kata Ayah lagi sambil menyiramkan kopi panas itu. Aku mulai menangis lagi.
“Aku lupa berapa sendok ku masukkan gulanya. Tapi, walaupun sudah aku tambah terus tetap saja tak kurasa manis,” jawabku sambil mengusap air kopi yang sampai muncrat ke mukaku.
“Kamu sudah gak waras ya? Ngerasain manis aja kok gak bisa,”
“Hidupku terlalu pahit Ayah. Aku tak tahu rasa manis itu seperti apa,” ujarku pelan.
Ayah diam. Ia tak membentakku lagi, tapi ia mendekatiku. Mungkin akan memukul atas kelancanganku. Dan benar saja. Tangannya yang sudah akrab dengan kekerasan yang ia lakukan tak tahan juga kalau hanya berdiam.
“Apa salahku pada Ayah sampai Ayah selalu menyiksaku?”
“Kau mau tahu apa salahmu? Wajahmu itu sangat mirip dengan ibumu. Itu kesalahan terbesarmu. Setiap Ayah melihatmu, Ayah langsung teringat ibumu. Memang seharusnya kau mati ikut dengan ibumu,” jawab Ayah.
“Memang kenapa dengan ibu? Bukankah Ayah sangat menyayanginya?”
“Ya. Ayah memang sangat menyayanginya sebelum ia mulai bermain gila dengan teman sekantornya itu. Itulah ibumu, ia tinggalkan Ayah karena Ayah sudah tak punya pekerjaan lagi. Dan mulai hari itu Ayah sangat membencinya. Juga semua hal yang berhubungan dengan ibumu termasuk kau! Tak ada bedanya kalian berdua,”
“Tapi aku ini kan anak Ayah. Aku pun sangat menyayangi Ayah,”
“Jangan harap aku bisa menyayangimu karena air mata buayaamu itu ya! Rasa benciku tak bisa di tawar hanya dengan acting murahan kamu itu,” ujar Ayah sambil menarik rambutku kuat.
“Sakit Ayah, sakit,” jeritku kesakitan.
“Sakit ya? Hahaha, rasakan itu!”
““Kenapa Ayah sangat benci aku? Kenapa? Padahal aku sangat menyayangi Ayah. Aku selalu bertahan hidup dengan semua perlakuan Ayah padaku. Karena aku tidak akan tega melihat Ayah sendirian mengurus diri. Aku tidak pernah sekali pun melawan setiap perintah Ayah, walaupun kupingku rasanya sakit sekali karena Ayah berteriak setiap saat. Ayah selalu menuntut aku untuk menjadi siswa yang pintar. Aku selalu menjadi juara satu di sekolah, tapi Ayah tak pernah bangga dengan hasil belajar kerasku. Apa salahku pada ayah? Kalaupun aku mirip dengan ibu, apakah pernah aku menghianati Ayah? Kalau Ayahku sendiri saja tak menginginkanku, untuk apa aku hidup? Lebih baik aku mati saja,”
Aku langsung berlari meninggalkan Ayah yang berteriak keras, “Mati. Mati saja sana. Susul ibumu. Pergi kamu dari hidupku. Hahaha . . . “
Ya Tuhan, apa lagi yang bisa membuatku untuk bertahan sekarang? Ayah ingin aku mati. Ku lihat hand phone yang menggeletak di meja belajarku. Sekarang aku tidak punya Ramdan yang biasanya menenangkanku. Aku telah kehilangan semuanya. Ibu, Ayah, Ramdan, keadilan, kasih sayang, semua tak pantas untukku. Aku tak berguna disini. mungkin hanya Tuhan yang mau menerimaku. Ya, aku harus menemui Tuhan. Aku akan bahagia disana. Tidak menderita seperti ini!



Sekolah masih begitu sepi. Dio masuk kelas dan keadaan tak berbeda.
“Apa yang kau lakukan?” teguran Dio mengagetkan Tania yang sedang mengoleskan lem di bangkuku.
“Ah, Dio? Apa kau sudah buta. Aku sedang mengoles lem di bangku Lily,”
“Tania, gak seharusnya kau mebenci Lily. Selama ini dia mengajakmu untuk bersaing secara sehat kan? Dia juga tidak pernah membalas kebencianmu kan? Bahkan, dia selalu menolongmu kalau kau ada kesulitan. Kau ingat? Dia tidak meninggalkanmu waktu kau terjatuh saat kita lomba lari, padahal kau lawannya, dia rela kalah demi untuk menolongmu”
“Aku . . . Aku Selalu ingin juara satu. Dan dia merebutnya. Dalam semua hal Lily selalu lebih unggul dariku. Guru-guru bilang aku harus banyak belajar darinya, dan aku tidak suka semua orang menganggap aku lebih bodoh darinya. Dia itu msuhku, Dio. Jadi dia harus pergi dari sini,”
Mereka berdua hanya terdiam beberapa saat. Tania menunduk lemah seperti ada yang sedang dipikirkannya. Dio membiarkannya dalam hening.
“Tapi, kau benar Dio. Gak seharusnya aku membenci Lily. Aku sudah terlalu jahat padanya, aku terlalu terobsesi pada keinginanku sendiri tanpa memikirkan perasaannya. Aku . . . menyesal atas semua ini. aku harus minta maaf padanya,” ujar Tania.
“Terlambat Tan. Lily sudah pergi, sesuai maumu!”
“Memang dia pindah kemana? Nanti kita ke rumahnya ya,”
“Sekarang aku mau mengajakmu ke rumahnya. Ayo Tan, teman-teman sekelas sudah ada disana semua,” Dio menarik tangan Tania, yang ditarik nurut.
“Lily . . . ,” Ayah tak berhenti berteriak memanggilku sejak semalam. Ia terus menangis merongrong menyesali perbuatannya. Ia pukul dirinya sendiri, ia tampar wajahnya sekuat-kuatnya, bahkan mungkin perutnya sudah terhunus pisau kalau para tetangga tidak mencegahnya.
Tania menangis di pelukan Dio melihat aku terbujur kaku dengan luka sobekan di pergelangan tanganku, dalam balutan kain putih bersih sebagai baju terakhirku. Ia mengumpat kesal pada dirinya sendiri karena tidak sempat minta maaf sebelumnya padaku. Teman-teman yang selama ini ikut mengerjaiku bersama Tania pun menangis sedih. Kenapa mereka ini? Kenapa menghujani rumahku dengan air mata? Apa karena sudah tidak ada si hitam Lily yang bisa mereka hina lagi? Atau karena mereka sudah tidak bisa mengerjaiku lagi? Haha, kenapa mereka menangis saat aku bisa tersenyum? Dan tidak membiarkanku tersenyum saat aku ingin? Dan kenapa aku jadi lupa caranya menangis? Atau mungkin aku sudah bosan. Ahh, manusia memang aneh!
Hujan gerimis pagi itu menambah sendu suasana di pemakaman. Semua orang telah pergi. Tidak ada isak tangis yang menemani tanah perkuburanku. Hanya Ayah seorang diri masih menangis disitu. Aku menatapnya penuh kasih. Dan kali ini kutemukan pancaran kasih yang sama di mata Ayah. Kasih yang entah sudah berapa lama hilang dari hatinya. Aku tetap mematung di tempat menemani Ayah. Sampai saat senja datang dan mulai kurasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Seberkas cahaya putih mengangkatku dari tempat. “Selamat tinggal Ayah,” bisikku diantara gemuruh suara angin.
“Sebenarnya Ayah tidak pernah membencimu nak. Ayah juga tidak tahu mengapa Ayah lakukan itu padamu. Mungkin karena Ayah selalu teringat penghiatan ibumu. Ayah menyesal,”
Hari mulai malam. Ayah berdiri dari tempatnya hendak pulang. Sebelum ia meninggalkan pemakaman ia berbisik pada dirinya sendiri, “Maaf, Lily!”


By : Sevilla

Pertemuan Terakhir

___cerpen buatan sodaraku lagi-lagi____

Rere mengayuh sepedanya perlahan. Semilir angin kota menemani perjalanan pulangnya. Temaram lampu jalan menerangi arahnya. Rambutnya yang terurai melambai-lambai dipermainkan angin. Sepedanya berbelok ke sebuah gang. Seratus meter di depan rumahnya telah menunggu.
“Ree . . .,” suara ibu terdengar memanggil dari kamar.
“Iya, tadi banyak kerjaan. Aku sudah makan kok bu, aku mau langsung tidur,” jawab Rere. Dia sudah hafal apa yang akan ditanyakan ibunya bila ia pulang lebih larut dari biasanya. Jadi sebelum ditanya, sudah ia jawab.
Dari kamar ibunya sudah tak terdengar suara lagi. Rere melepas sepatu dan jaketnya. Ia berjalan ke kamar mandi dan beberapa menit kemudian, ia pergi ke kamarnya. Tidur.



“Hei Re, dari ngebersihin kamar mana?” tanya Sandra yang bertemu Rere di lobi.
“Dari kamar 103. Udah waktunya istirahat nih, kebelakang yuk!” ajak Rere.
Keduanya kini sudah duduk berhadapan dan siap menyantap bekal makan siang masing-masing. Tak sengaja Rere melihat sesosok tubuh manusia yang sangat familiar. Seorang lelaki berjalan perlahan di taman belakang. Tangannya memegang sebuah kertas dan pulpen. Rere terus memperhatikan sosok itu. Siapa dia?
“Renata,” sapa seorang lelaki saat Rere sedang mengantri di kasir di sebuah mini market.
“Andar? Temen SMP ku ya?” Tanya Rere tagu, takut kalau-kalau tebakanya salah.
“Iya. Ini aku Andar,” sahut lelaki itu. Kemudian mereka mengobrol banyak. Saat akan pulang, Andar menawarkan diri untuk mengantar Rere pulang.
“Udah lama ya kita gak ketemu. Gak nyangka, bisa ketemu kamu disini,” Andar membuka suara. Ia berjalan disamping Rere yang menuntun sepedanya.
“Iya lama banget. Kamu banyak berubah ya,”
“Ah, gak. Gak ada yang berubah.”
“Kamu sekarang tinggal dimana? Apa gak di Bandung lagi?” tanya Rere.
“Aku masih di Bandung. Aku lagi ada tugas kantor makanya disini. Sementara ini, aku tinggal di hotel MegaLux,”
“Oh ya? Aku kerja disana ndar. Berarti yang tadi siang aku liat mondar-mandir di taman belakang itu kamu,”
“Berarti kita bisa sering ketemu dong. Semenjak ada pemberontakan itu, kita gak pernah ketemu kan? Aku pindah ke Bandung ikut tante. Ayah dan Ibuku sudah meninggal,”
“Andar,” Rere memegang punggung Andar. “Saat itu aku dan keluargaku selamat dan pindah kesini,”jawab Rere yang kini mereka sudah ada di depan rumahnya.
“Kamu beruntung, Re!”
“Mampir yuk ndar, minum kopi dulu,” kata Rere menwarkan.
“Ah gak usah Re, udah malam. Aku Cuma pengen nganterin kamu pulang aja. Gak baek cewek cantik pulang sendirian malam-malam gini,”
Rere tersenyum. Lalu ia melangkah ke arah rumahnya. Ia merogoh kantung celananya. Kunci cadangan yang selalu ia bawa kini sudah ada di tangan. Pintu terbuka dan ia masuk ke dalam. Berjalan ke kamar dan membanting tasnya di kasur. Kemudian berbaring membentuk bintang.



“Hai Re, sibuk ya?” tanya Andar dari pintu. Rere yang sedang membereskan tempat tidur menjadi kaget. Ia tersentak dan cepat kembali tenang saat ia yahu bahwa itu adalah Andar.
“Iya. Kamu ngapain disitu? Kamar kamu kan di sebelah,” jawab Rere tetap pada pekerjaanya.
“Gak apa-apa. Aku masuk ya, aku mau nemenin kamu,” kata Andar yang berjalan masuk kamar.
“Eh, jangan. Aku bisa dimarah bosku kalau aku bawa teman yang bukan karyawan hotel masuk ke kamar tamu. Kamu keluar aja ya!” ujar Rere dengan kedua tangannya mendorong punggung Andar keluar kamar.
“Ok . . . Ok . . . tapi aku pengen ngobrol sama kamu,”
“Eem, temui aku di taman jam 7 malam ya!” jawab Rere singkat dan langsung menutup pintu kamar.
Seperti janjinya tadi, Rere menemui Andar di taman jam 7. Mereka mengobrol banyak disitu. Mengenang masa SMP yang hamper pudar dimakan usia. Hal-hal lucu, menyenangkan, dan sedikit konyol membuat mereka tertawa riang. Tertawa lepas seperti dulu. Sudah tak ada canggung lagi yang membatasi. Semua keluar dan mengalir begitu saja.
“Re, kita belum pernah putus kan?” tanya Andar tiba-tiba.
Rere kaget. Tawanya yang tinggal sejumput ia telan lagi. Masih jelas terekam di otaknya, dia dan Andar pernah menjalin rasa saat di SMP. Namun, karena suatu pemberontakan yang dilakukan orang-orang asing yang tak mereka kenal, semua berakhir begitu saja. Kota mereka diporak-porandakan. Sekolah mereka dibakar. Tanpa mereka tahu apa alasan dari semua itu. Itulah saat-saat paling menyedihkan dalam hidup mereka. Yang tak pernah ingin diusik lagi. Dan, hubungan cinta Rere-Andar terpisah jarak andara mereka.
“Apa sih, itu kan cuma “cinta monyet” remaja,” ujar Rere gugup.
“Tpi aku selalu anggep itu serius. Aku gak pernah ngelupain kamu. Dulu, aku saying sama kamu dan sekarang masih sama,” kata Andar dengan sinar mata sungguh-sungguh.
“Ndar, kita kan udah lama gak ketemu. Masa’ sekali ketemu kita mau ngomongin itu sih?”
“Maaf ya Re, aku cuma mau tahu kejelasan kita,” ujar Andar pelan.
Rere diam. Ia tidak tahu harus harus berkata apa.
“Oya Re. kamu udah lama kerja disini? certain dong sama aku, pengalaman kamu, kerjaan kamu, dan semua seluk-beluk hotel ini. kamu pasti yahu dong,”
“Oh tentu! Aku sudah tiga tahun kerja disini, aku hafal setiap sudut hotel ini,”
Rere mulai bercerita. Uhh . . . akhirnya bisa lepas juga. Rere lebih senang menceritakan semua tentang hotel itu daripada harus menanggapi pertanyaan perasaan tadi. Itu membingungkannya. Andar mendengarkan penuturan Rere dengan serius. Malam begitu cepat bergerak, hingga pada titik malam dimana Rere harus segera pulang. Andar mengantarnya lagi, rumah Rere tidak jauh dari hotel itu.
“Re, tulis dikertas ini kalau kamu mau tetap meneruskan cinta yang kamu bilang cinta monyet itu. Besok pagi, berikan padaku. Kalau tidak, buang saja di kotak sampah,” kata Andar saat mereka sudah berada di depan rumah Rere.
Rere menrima kertas itu. Lalu tanpa suara Rere melambaikan tangan melepas Andar. Matanya mengikuti punggung Andar sampai hilang dalam gelap. Ia kemudia masuk rumah dan langsung ke kamae. Rere jadi tidak bisa tidur. Ia memikirkan apa yang harus ia tulis. Lho, kok malah jadi bingung mau nulis apa? Kalau tidak suka kan tinggal dibuang saja. Tapi Rere ragu. Andar lelaki yang ganteng, tubuhnya tinggi, putih dan ia pun sudah bekerja. Mungkin sesuatu kalau belum dicoba langsung diakhiri kurang adil. Rere tersenyum sendiri melihat tingkah bodohnya. Tangannya mulai menari membentuk arti.

Y Y Y

“Jadi, kamu menerima aku lagi?” tanya Andar pagi itu. Spontan ia langsung memeluk Rere.
Rere berusaha melepas pelukan Andar. “Eh, banyak orang. Malu!”
“Alah, mereka semua itu kan bule. Orang asing. Di Negara mereka hal seperti ini sudah biasa,”
“Tapi, itu ada pegawai lain. Kan gak enak diliat mereka,” sahut Rere.
“Ya udah, maaf ya sayang,”
Rere tersenyum. Hari ini status jomblonya resmi hilang.
“Eem, Re nanti siang aku harus check out. Aku sudah tiga hari disini,”
“Apa? Kok gitu. Baru aja jadian udah mau ditinggal,” ujar Rere kesal.
“Eh, gak kok sayang. Aku nasih ada di kantor cabangku. Nanti aku tinggal di penginapan bareng pegawai lain dari luar kota,”
“Nanti malam kamu ikut aku ya,” ajak Andar menwarkan.
“Kemana?”
Belum sempat dijawab, atasan Rere sudah memanggil, Rere harus kembali bekerja. Dan seperti biasa mereka berjanji bertemu di taman jam 7 malam. Lalu, mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Malam itu Andar mengayuh sepeda sedikit cepat. Rere yang dibonceng di belakang memegang pinggang Andar erat. Rere tidak tahu akan dibawa kemana. Tapi, ia diam saja. Beberapa saat kemudian mereka sampai di sebuah tempat yang menurut Andar itu adalah penginapan yang ia maksudkan tadi siang. Sepeda diparkirkan dan mereka langsung menuju sebuah kamar di ujung. Tempat itu masih sepi, belum ada satu kamar pun yang berpenghuni. Andar membuka pintu dan langsung masuk. Rere ikut saja.
“Ndar, jangan ditutup deh pintunya,” cegah Rere.
“Oh, kamu takut ya? Tenang. Aku gak bakalan ngapa-ngapain kamu kok,”
Andar melangkah ke dalam. Ia membereskan baju-baju yang ada di tasnya dan menatanya di lemari yang ada di depannya. Melihat itu, Rere tergerak untuk membantu. Ia membuka tas Andar yang ada di dekat pintu.
“Ndar, itu tali unutk apa?” tanya Rere melihat ada tali tambang di atas meja.
“Oh itu untuk buat jemuran nanti,” jawab Andar dengan tetap sibuk pada tasnya.
Tapi tiba-tiba Rere menjadi sangat terkejut. Ia merasa aneh dengan apa yang ia lihat di dalam tas Andar. Ada gulungan kabel, beberapa botol yang berisi bubuk-bubuk aneh. Dan benda-benda lain yang terkesan asing di penglihatan Rere.
“Lalu, yang di dalam tas ini apa?”
“Hei, kamu gak boleh membuka tas itu,” teriak Andar dan langsung menghampiri Rere. Dengan gugup dia menutup tasnya.
“Katakan, apa itu Andar?” tanya Rere penasaran.
“Kamu tidak perlu tahu,”
“Kenapa? Kamu tidak percaya padaku?” desak Rere.
Andar terdiam beberapa saat. Ia menatap Rere yang mengharap jawabannya. Akhirnya Andar membuka mulut juga. Lagipula Rere sudah terlanjur melihat semua itu.
“Ini adalah alat-alat yang aku gunakan untuk membuat . . . “ kata-kata Andar terputus.
“Bom!” lanjut Andar kemudian.
Rere sangat terkejut. Ia merasa ada yang aneh dengan perasaanya. Ia pun merasa tidak percaya dengan pendengarannya. Benarkah ucapan Andar?
“Apa maksudmu ndar?” tanya Rere untuk meyakinkannya.
“Maaf Re, aku tidak memberitahumu masalah ini. aku berniat menghancurkan hotel itu. Aku menaruh bom disitu,” kata Andar lagi.
“Kau bercanda kan?” tanya Rere yang masih belum percaya.
“Nggak Re, aku gak bercanda,”
“Tapi kenapa? Jadi kamu seorang teroris?”
“Iya, kau boleh menyebutku begitu seperti para polisi yang sedang mencariku,”
“Andar, ini tidak benar. Bahkan salah besar!”
“Apa kau sudah lupa dengan pemberontakan dulu? Orang-orang asing itu menghancurkan kota kita. Dan yang ada di hotel itu mayoritas orang asing kan?” Andar mulai tersulut emosi.
“Tapi bukan mereka pelaku pemberontakan itu. Mereka tidak tahu apa-apa. Kau bisa membunuh orang-orang yang tidak bersalah,”
“Semua orang itu sama. Kamu tahu apa yang mereka lakukan pada orang tuaku? Mereka membakar ayahku. Mereka memperkosa ibuku dan kemudian mebunuhnya. Apa salah yang dilakukan Ayah dan Ibuku pada mereka? Tidak ada kan? Dan seperti tanpa dosa mereka melakukan semua itu di depan mataku,” Andar terisak mengingat kejadian yang teramat menyedihkan itu.
“Andar . . . aku tahu, kamu sangat bersedih dan kehilangan. Tapi, orang-orang asing yang ada di hotel itu bukan musuhmu. Itu pun sudah bertahun-tahun silam kan?”
“Aku sudah bilang, semua orang asing sama saja. Kau tidak mengerti Re. Pokoknya aku akan tetap menghancurkan hotel itu,” suara Andar sedikit keras.
“Apa kamu tidak merasa berdosa? Yang ada di hotel itu bukan pelaku pemberontakan. Mereka sudah diadili. Aku mohon, hentikan tindakan bodohmu Andar,”
“Aku belum mengadili para saudara mereka kan? Kita tak tahu apa yang akan dilakukan mereka besok. Dendamku sudah memuncak. Kamu tidak bisa menghentikan ini semua,”
“Tapi, bagaimana dengan para pegawai? Pak satpam? Kau akan membunuh mereka yang juga teman-temanku. Kalau mereka mati, bagaimana nasib anak-anak mereka? Lalu aku? Aku akan kehilangnan pekerjaanku. Ibuku hanyalah wanita tua yang lumpuh. Aku harus menghidupiny. Kau tetap yak peduli?”
“Maaf Re. tekadku sudah bulat,”
“Kau setan! Kau lebih kotor daripada pelaku pemberontakan itu,” umpat Rere keras.
“Kenapa kamu bicara keras padaku? Bahkan kau ikut membantuku. Kamu menceritakan seluk-beluk hotel itu, hingga aku mendapatkan tempat yang strategis,”
“Kau benar-benar jahat. Kau manfaatkan aku untuk niat jahatmu. Aku benci kamu!” Rere menangis. Kemudian dengan kuat ia menendang dada Andar hingga lelaki itu jatuh tersungkur.
“Tapi aku mencintaimu Re. makanya aku mengajakmu kesini, karena aku tidak mau kau mati,”
Rere mendaratkan kepalan tangannya ke wajah Andar. Lalu dengan sigap ia mengambil tali di atas meja lalu mengikat tangan Andar di belakang punggung.
“Katakan! Dimana bom itu kau letakkan?” tanya Rere lagi.
“Aku tidak membiarkanmu menghancurkan rencana besar yang sudah aku persiapkan sejak lama. maaf Re,” jawab Andar menahan perih bibrnya yang pecah di pinggirnya.
“Katakan Andar!” bentak Rere keras.
“Lgipula kau sudah terlambat. lima menit lagi bom itu akan meledak,” Andar tersenyum menang.
Rere menangis kuat. Bagaimana mungkin ia pernah mempercayai seorang teroris. Lalu, tanpa pikir panjang Rere berlari keluar menemui sepedanya. Dengan terisak ia mengayuh sepedanya. Rupanya hotel itu lumayan jauh. Rere berusaha lebih cepat. Dengan pikirannya yang kacau, Rere mencoba menebak dimana Andar meletakkan bom-nya. Namun hotel itu terlalu besar. Ada ribuan kamar dan ruang. Tidak mungkin hanya dalam waktu sesingkat itu ia akan memeriksa semuanya. Ahh . . . Apa yang harus aku lakukan?
Beberapa menit kemudian, terjadilah suatu insiden besar yang membuat semua orang terkejut. Beberapa orang polisi di jalanan tetap menjalankan tugasnya walaupun ledakan telah terjadi. Bom telah meledak. Semua hancur. Bangunan hotel yang megah itu tak tersisa lagi. Kini hanya tinggal bongkahan bangunan yang terbakar. Berpuluh mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk menjinakkan api. Dari jarak yang lumayan jauh, Rere menatap semua itu dengan mata sembabnya. Perasaannya campur aduk membingungkan. Ia masih terpaku di tempat. Terdiam melihat yang ada di depannya.


Y Y Y

Di ruang besuk Rere menunggu dengan menundukkan kepalanya. Pikirannya kalut menerawang. Hatinya kusut terasa, tak bisa meraba. Seorang lelaki berseragam nara pidana berjalan ke arahnya dengan seorang polisi di belakangnya.
“Hai Re,” sapa lelaki itu.
Rere memeluknya. Ia menangis terisak di dada Andar.
“Kamu kenapa Re?” tanya Andar lembut.
“Ma . . .aaf,” ucap Rere tersedu. Kemudia mereka duduk bersandingan di bangku.
“Ini aku bawakan soto ayam. Aku harap, makanan kesukaanmu masih sama seperti waktu kita SMP dulu,”
“Waktu kau pacarku,” seloroh Andar sambil membuka kotak makanan yang dibawa Rere.
“Hari ini pun aku masih pacarmu,” kata Rere pelan.
“Aku bangga punya pacar sehebat kamu. Kamu bisa mengeluarkan semua tamu dan pegawai dalam waktu sesingkat itu,”
“Aku bingung harus berbuat apa. Lalu aku ke ruang pemberitahuan dan memberitahukan tentang bom itu. Mereka percaya padaku. Dan mereka mau keluar bersamaku. Ternyata bom-mu itu tidak meledak lima menit lagi kan? Masih ada waktu setengah jam lagi saat itu,”
“Iya, kau hebat. Kau pahlawan bagi mereka semua,”
“Tapi penghianat bagimu,” sambung Rere.
“Tidak. Kau pahlawan hatiku. Kau membuat aku tidak membunuh mereka. Hanya hotel itu yang aku hancurkan,”
“Tapi sebelumnya kau sudah banyak membunuh orang asing di banyak tempat kan?”
“Iya.” Andar menunduk merasa bersalah. Rere menangis lagi.
“Tapi setidaknya aku sempat bertaubat. Dan yang aku tahu Tuhan maha pengampun,”
“Kau benar. Ayo habiskan sotonya,” tegur Rere melihat soto ayam itu belum terjamah sedikit pun.
“Besok kita sudah tidak bisa bertemu lagi. Kau telah menghadirkan hari-hari terindah bersamamu. Dan soto ayam ini salah satunya,” kata Andar yang membuat hati Rere terasa teriris mendengarnya.
Melihat Andar begitu lahap menghabiskan soto ayam buatannya Rere merasa sangat senang. Kemudian mereka berbincang-bincang lagi. Bercerita banyak sekali.
“Rasanya masih banyak yang ingin aku katakan. Tapi, aku tidak tahu apa itu,”
“Benarkah? Kalau begitu kita sama. Aku masih ingin di sampingmu,” sahut Rere membenarkan ucapan Andar.
“Re, aku sayang kamu,”
Rere mengangguk. “A. . .aaaku, aku . . .” Rere tidak menyelesaikan kata-katanya. Andar menutup bibirnya dengan satu kecupan hangat.
“Aku tahu. Kita saling mencintai,” kata Andar dengan melepas cincin yang ada di jarinya dan memberikannya pada Rere.
Waktu besuk habis. Rere harus pulang. Ia melepas Andar dengan pelukannya. Tangisannya mengantar Andar kembali ke balik jeruji besi. Duduk termenung sendiri menanti nasib. Wajah Rere, Renata Syafira, terbayang di depan mata. Andar tetap tersenyum walau air matanya mengalir deras. Seorang wanita, pacarnya, telah membuka hatinya. Ia siap menerima eksekusi besok. Untuk mebayar semua perbuatannya.
Rere mengayuh sepedanya pelan. Air matanya belum bisa berhenti. Kalau Andar sudah siap untuk dieksekusi, tidak untuk Rere. Ia belum siap kehilangan Andar. Ia genggam erat cincin pemberian Andar. Satu-satunya sisa kenangan tentang lelaki itu. Rere sampai di sebuah kafe. Rere mengusap pipinya yang basah. Ia menatap jauh ke angkasa. Andar tersenyum hangat disana. Lalu Rere menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Ia siap bekerja dan menjalani hari-harinya seperti dulu saat ia belum bertemu lagi dengan Andar.







By : Sevilla

Rabu, 21 Juli 2010

Jenis Hutan dan Fungsinya

Macam/Jenis Hutan Di Indonesia Dan Fungsi Hutan Untuk Kehidupan Di Muka Bumi Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan yang luas di dunia. Luas hutan tersebut dulu mencapai 113 juta hektar dan terus berkurang drastis akibat kebodohan oknum pemerintah dan penjahat yang selalu haus uang dengan membabat dan menggunduli hutan demi mendapat keuntungan yang besar tanpa melihat dampak bagi lingkungan global.

Berikut di bawah ini adalah pembagian macam-macam / jenis-jenis hutan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia disertai arti definisi dan pengertian :

1. Hutan Bakau
Hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai berlumpur. Contoh : pantai timur kalimantan, pantai selatan cilacap, dll.

2. Hutan Sabana
Hutan sabana adalah hutan padang rumput yang luas dengan jumlah pohon yang sangat sedikit dengan curah hujan yang rendah. Contoh : Nusa tenggara.

3. Hutan Rawa
Hutan rawa adalah hutan yang berada di daerah berawa dengan tumbuhan nipah tumbuh di hutan rawa. Contoh : Papua selatan, Kalimantan, dsb.

4. Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropis adalah hutan lebat / hutan rimba belantara yang tumbuh di sekitar garis khatulistiwa / ukuator yang memiliki curah turun hujan yang sangat tinggi. Hutan jenis yang satu ini memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, bertanah subur, humus tinggi dan basah serta sulit untuk dimasuki oleh manusia. Hutan ini sangat disukai pembalak hutan liar dan juga pembalak legal jahat yang senang merusak hutan dan merugikan negara trilyunan rupiah. Contoh : hutan kalimantan, hutan sumatera, dsb.

5. Hutan Musim
Hutan musim adalah hutan dengan curah hujan tinggi namun punya periode musim kemarau yang panjang yang menggugurkan daun di kala kemarau menyelimuti hutan.

Di samping itu hutan terbagi / dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu :

1. Hutan Wisata
Hutan wisata adalah hutan yang dijadikan suaka alam yang ditujukan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan serta hewan / binatang langka agar tidak musnah / punah di masa depan. Hutan suaka alam dilarang untuk ditebang dan diganggu dialih fungsi sebagai buka hutan. Biasanya hutan wisata menjadi tempat rekreasi orang dan tempat penelitian.

2. Hutan Cadangan
Hutan cadangan merupakan hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Di pulau jawa terdapat sekitar 20 juta hektar hutan cadangan.

3. Hutan Lindung
Hutan lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai.

4. Hutan Produksi / Hutan Industri
Hutan produksi yaitu adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hutan produksi dapat dikategorikan menjadi dua golongan yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan rimba adalah hutan yang alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja dikelola manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan rimba yang diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem tebang pilih dengan memilih pohon yang cukup umur dan ukuran saja agar yang masih kecil tidak ikut rusak.

Ensiklopedia

Senin, 19 Juli 2010

cerbungku part 5

sebelumnya, makasih ya buat semua yang udah mau luangin waktunya untuk ngebaca cerbungku ini, aneh sih.. Tolong ya buat saran dan kritiknya kalo kurang srek sama critanya.. makasih banyak :)lanjut ke crita aja ya..



sesampai widia kerumahnya,

Widia : " ma, aku pulang "
Mama : " iya "
Widia : " o..iya ma si rio lagi main sama iyel katanya pulang rada lama "
Mama : " ohh.. iya "

tepat pukul 14.00 / 2 siang
memakai kemeja merah, dasi bergaris-garis, celana jeans hitam.. patton datang kekediaman widia

Patton : " mana sih si widia, udah jam segini belum kluar juga dari rumahnya, apa gw masuk aja ya ? "

tok tok tok, permisi..

Mama Widia : " iya, ini siapa ya? "
Patton : " aku patton, tante. widia nya ada ? "
Mama Widia : " oh.. temennya widia ya ? sebentar dulu ya widianya masih dikamar biar tante panggilin dulu. Silahkan masuk nak patton "
Patton : " iya tante, makasih "

tiba-tiba seorang perempuan mengenakan dress dengan sepatu highkills, dan memakai bandana di kepalanya datang mengampiri patton

Widia : " wih, udah dateng dia "
Patton : " ha ? "
Widia : " kenapa lo ? terpesona ye liat penampilan gw ? "
Patton : " enggak kok GR deh lo "
Widia : " udahlah ngaku saja "
Patton : " yaudah yuk, cabut sekarang aja keburu sore "
Widia : " oke oke "

# di perjalanan, dalam mobil patton

Widia : " ton, kita tuh mau kemana sih ? "
Patton : " udah ikut aja "
Widia : " jangan-jangan lo mau nyulik gw ya ? "
Patton : " rugi mamang gw nyulik lo wid, ha..ha..ha.. "
Widia : " yaudah, kalo gitu jawab dong ! kita tuh mau kemana ? "
Patton : " udah sih diem aja bawel deh lo "

tak di sangka Rio - Gabriel pun mengikuti mereka dari belakang
Sesampainya di lokasi,

Gabriel : " io , mereka ngapain sih kesini ? "
Rio : " mana gw tau io, ngapain sih kita ngikutin mereka "
Gabriel : " gpp , gw cuma mau tau aja apa yang bakal mereka lakuin "
____________________________________________________________________

Widia : " kita ngapain sih kesini, ton ? "
Patton : " sebenernyaaa... " jawab patton rada gugup
Widia : " sebenernya apa ton ? jangan gugup gitu dong ? "
Patton : " maaf,maaf.. sebenernyaa "

> apa ya yang mau dikatakan patton ?
> apa yang akan terjadi selanjutnya ?
> tunggu part 6 nya aja ya :D

Senin, 05 Juli 2010

cerbungku part 4

ya seperti biasalah maap kalo gak nyambung. gak srek komen ya :)

langsung aja ya..

Bu.Rini : "Baiklah, Widia-Patton maju ke depan"
Widia : "kapan bu? sekarang??"
Patton : "jiah pake nanya lagi wid..widd.. ya sekaranglah!"
Bu.Rini : "udah kalian maju aja, terus kalian membelakangi anak-anak ya jangan ngintip! biar anak-anak yg memberikan hak pilihnya" (dikira pemilu kali ye??)
Widia, Patton : "iya buu.."

Tak lama.. Widia menjadi ketua kelas dan Patton sebagai wakil..
Dan tak disangka itu pun terjadi pada Rio dan Gabriel, tapi disini Gabriel lah yang menjadi ketua kelas oo..iya sebelumnya Gabriel dan Rio masuk di kelas 8b...

tingg-tonggg tinggg-tongggg ( bunyi bel pulang ) tak terasa sudah waktu pulang..

Rio : "caelahh yang jadi ketua nih yee. Teraktiranlah ! haha"
Gabriel : "haha dasar lo yo. Iya deh gw traktir kue sus aje ye di tempat biasa kan lo paling demen tuh"
Rio : "haha sip-sipp"

___++ intip yang terjadi pada patton-widia dulu yukk ! ++__

Patton : "wid, hari ini ada acara gak??"
Widia : "hm.. ada apa emangnya??"
Patton : "jawab dulu..ada atau gak..??"
Widia : "ya gak ada sih..kenapa..??"
Patton : "bagus deh..jalan yuk..??"
Widia : "jalan kemana..??..kapan..??"
Patton : "ke suatu tempat, ya??..nanti gw sama sopir gw jemput lo dirumah lo jam 2 siang ini ya.."
Widia : "ha..? iya deh terserah apa kata lo.. udah tau rumah gw tah ton..??"
Patton : "udah dong..gw gitulohh.."
Widia : "dih..? narsis dah lo.."
Patton : "tak apalah gratis ini kan..??..haha yaudah ya. lu pulang bareng kakak lu lagi kan..?? gw duluan ya? sopir gw udah nungguin nih..byee wid ~

setelah patton pulang, tiba-tiba Gabriel dan Rio menghampiri widia..

Rio : "wid..!"
Widia : "apa..??"
Rio : "lo balik duluan aja ya..? gw ada urusan nih sama iyel.."
Gabriel : "gpp sih yo.. wid, kalo mau ikut aja yukk?"
Rio : "dih..?? biar apa coba ngajak bocah..??"
Gabriel : "gpp sih, kan adek lu ini..?"
Rio : "iya sih.."
Widia : "emang mau kemana sih..?"
Gabriel : "ceritanya gw mau neraktir kakak lo nih. mau ikut..?"
Widia : "gak deh, gw udah ada janji jam 2 ini sama si patton"
Gabriel : "jadi gak bisa nih..?"
Widia : "iya maaf ya, lain waktu aja"
Gabriel : "yaudah deh tak apa.."
Rio : "ahh sok sibuk deh lo wid,"
Widia : "apasih lo io ! sirik bilanglah..!"
Rio : "enak aja, sorii yee~"
Gabriel : "udah-udah jadi berantem. Hati-hati ya wid.."
Rio : "iya sekalian, bilang ke mama kalo gw pulang lama"
Widia : "iya..iya.."

widia sampai dirumah lebih awal dan langsung memberitahukan ke mama atas pesan dari Rio kakaknya.
sedangkan Rio dan Gabriel masih di tempat tongkrongannya sambil ngobrol..

Gabriel : "gimana..? udah puas belum makan kue susnya??
Rio : "belum, 1 piring lagi ya..?"
Gabriel : "haha dasar dah lo gak ada kenyangnya.. lo nih doyan atau maruk sih..?"
Rio : "dua-duanya juga boleh deh..haha" sambil mengunyah kue sus dalam mulutnya
Gabriel : "jiahh.. udah makan dulu tuh kue dalam mulut baru ngomongnya"
Rio : "iya iya mah, kayak nyokap gw aja lo tuh.."
Gabriel : "dikata gw emak lu apa..?huu"
Rio : "hahahahahha"
Gabriel : "eh gw masih penasaran nih.."
Rio : "penasaran opo toh 'leh??" (jiah si rio mendadak jawa)
Gabriel : "si widia sama patton itu mau kemana sih?? penasaran gw.."
Rio : "ya palingan main.."
Gabriel : "ya gw juga tau yo, tapi kemana..?"
Rio : "mana beta tahu..ciee ciee ada apa tuh?? cemburu ya??"
Gabriel : "enak aja! kagaklah !gile ah lu..! hm.. siang ini ada acara gak..?"
Rio : "enggak, kenapa..?"
Gabriel : "gw punya rencana nih. ikut ye? sini deh gw bisikin apa rencara gw.."
Rio : "apaan..?"
Gabriel : "yaudah sini dulu biar gw bisikin.. sttt........(sambil membisikan rencana)"

>> apa yang di rencakan Gabriel..??
>> kemana dan apa yang akan di lakukan Patton dan Widia??
** tunggu part selanjutnya aja yaa **