Jumat, 04 Maret 2011

Gajah Mati Meninggalkan Gadingnya

Gajah Mati Meninggalkan Gadingnya


Kekagumanku pada kakek,sangat luar biasa. Meski sudah berumur, Ia lincah bagaikan tupai melompat. Kemana Ia pergi benda kecil selalu menemani di kepalanya. Akhir tahun aku berkunjung ke rumah kecil yang indah dan tenang, rumah kakek. Raja siang keluar di ufuk timur mengawali hari baru. Dengan sergap Ia bangun tidak mau ketinggalan, membasuhkan tubuh dan menikmati hangatnya teh pagi hari. Berjalan menyusuri desa-desa dengan kaki telanjang dan menghirup embun pagi.

“Dari mana kek? Kok pagi pagi benar sudah pergi” tuturku bertanya kepada kakek. “kakek habis jalan pagi cu, sebentar kok cuma 2 kilometer” jawab kakek ku sambil bersenam pagi. “sudah tua kok masih kuat ya?” pikirku dalam hati. Sembari menikmati roti bakar dilapisi telur, kakek menatap televisi dan tak mau di ganggu. Saudara sebayaku Nita mengajakku bermain permainan mental (catur) di teras rumah. Aku tak terlalu mengerti bagaimana jalannya permainan catur tiba-tiba kakek menghampiri melihatku kebingungan dan mengajariku bermain catur seperti istilah rokade, skak, dan promosi. Rokade raja bergerak dua petak menuju Benteng di baris pertamanya, skak ketika raja sedang diserang oleh satu atau lebih bidak lawan, sedangkan promosi pion dipromosikan dan harus ditukar dengan bidak berdasarkan keinginan pemain, tetapi saudara kecilku sering menyebut promosi ‘sekolah’ dan rokade ‘lukir’ dengan bahasa jawa medok nya.

“kek, ayo makan siang udah di tungguin tuh” ucap Nita mengajak kakek yang sedang asyik bermain catur disampingnya. “bilang saja saya sudah makan” jawab kakek mengarahkan kepala kebelakang sambil kebingung’an. “kakek lihat kemana? Aku kan di samping kakek,” protes Nita. “Iya bilang saja saya sudah makan ya”jawab kakek mengarahkan kepala kesampingnya dan melanjutkan permainan caturnya. “gimana udah di ajak kakeknya?” Tanya nenek. “sudah makan katanya nek” jawab nita sambil mengambil posisi duduk di samping nenek. “bohong itu, kakek kan belum makan siang” gerutu nenek. Seusai makan siang aku bersama Nita membereskan piring piring dan kembali bermain. “Ta kapan kamu pulang?” Tanya ku kepada Nita. “besok, kamu?” tanya Nita kepadaku. “sama dong” jawabku.

Terdengar berita kakekku terjatuh berlutut dan pingsan di depan gereja minggu pagi. Kakekku beragama Kristen Advent. yang selalu beribadah di hari sabtu. “tapi itukan hari minggu? Kenapa kakek gereja?kakekku yang lincah ini masa bisa pingsan? Kayaknya ga ada sakitnya deh” tanyaku heran. Ibuku menangis dan takut ada sesuatu terhadap kakekku. Dengan seribu pertanyaan dan rasa tidak percaya Ibuku pergi menuju Lampung ke kediaman kakek nenekku saat malam hari.

Kriing..kriing…kriing.... bunyi telepon menggangu kesunyian. “Halo ini siapa ya?” Tanya Nenek kepada penelepon. “halo, nek. Ini Angel nek” jawabku. “oo.. Angel, ada apa angel?”sahut Nenek. “Nenek ke rumah sakit sekarang ya”tuturku kepada nenek. “ada apa emangnya angel?”Tanya nenek penasaran. “nenek kerumah sakit aja dulu sekarang ya nek,” jawabku langsung menutup telepon. “neneekk..” ucapku dengan nada sedikit lebih keras kepada nenek. “ada apa angel?” Tanya nenek. “kakek nek, kakek” ucapku menangis. “ada apa, kakek kenapa?”Tanya nenek semakin penasaran. “KAKEK UDAH GA ADA NEEK” ucapku menangis semakin mengeras. “APAAAAAAAA!! Kenapaa?” jawab nenek tidak percaya. “iya nek, aku gak tau setiap di bilang kakek mau di pindah ke RS Advent, kakek kayak gak mau. Tapi waktu aku nyanyiin lagi gereja di telinganya sepertinya kakek senang. Tapi aku ga relaa nek !” . Nenek tidak menjawab apapun, Ia hanya menangis, menangis, dan menangis.

Aku menangis beradu-adu dan tak rela. Kakek tidak pernah marah, kakek akrab dengan semuanya, tidak membeda-bedakan, Harum namanya. “KAKEEKK, kenapa mesti kakek yang pergi meninggalkan kami semua? TUHAN! Aku ga sanggup seperti ini, kenapa enggak aku aja yang pergi” ucapku dalam tangisku. “kakekk…kakeekk.. kenapa kakek pergi? Kenapa? Siapa yang ngajarin aku main catur lagi? Siapa yang ngajak lari pagi lagi? Siapa ? Siapa, kek?” tutur Nita meluapkan kesedihan. Semua bersedih, kakek yang tidak pernah marah, tidak pernah protes meski beberapa keluarga tidak menghargainya, ia tetap tabah. Tapi kenapa orang baik harus pergi dengan cepat ? semua menangis, tapi neneklah yang lebih merasakan kehilangan itu. Nenek sangat terpukul atas kejadian ini, Ibuku pun begitu.

Sungguh rasa gembira telah diselimuti oleh kesedihan. Pendeta berkata:”tanah akan kembali menjadi tanah, dan batu akan kembali menjadi batu. Janganlah kita terlalu lama terlarut dalam kesedihan, kakek ahanya beristirahat di tempat yang sementara. Jangan berharap untuk ingin tetap bersamanya karena dunia kita sudah berbeda. Tapi ingatlah akan segala kebaikan yang telah beliau perbuat. Karena Ia mati dalam Tuhan” ucap seorang pendeta menyemangati.