Minggu, 10 Februari 2013

Cerpen Semangat Untuk Masa Depan


Tema   : Menumbuhkan Budaya Menabung

Semangat Untuk Masa Depan
oleh : Widia Angelina

            Terdengar suara ayam jantan yang mengganggu lelapnya, burung-burung beradu nyanyian, semilir angin yang menggelitik bulu romaku di pagi hari ini. Secangkir air putih, serta nasi dan kerupuk menyapa perut yang sudah beradu. Bersiap mengenakan baju putih dan rok biru yang kusut, dan sepatu rusak peninggalan Ayahku. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Ayah meninggalkan kami, kasihan Ibuku yang harus menjaga dan menafkahi Aku dan kedua adikku. Beberapa kata terakhir yang diucapkan oleh Ayahku, dan selalu terngiang di dalam benakku adalah bahwa Ayah ingin aku terus sekolah dan membahagiakan Ibu dan kedua adikku.
            “Bu, Saya berangkat sekolah ya,”ucapku menyium tangan Ibuku, berpamitan,
            “Iya, ndok, kamu hati-hati ya,”jawab Ibuku
            “Iya, Bu,”jawabku lagi
            Hari masih menunjukan pukul 05.10 pagi, aku tahu karena selalu aku mengintip jam dari sebuah warung yang letakknya tidak jauh dari gubuk kecilku. Aku berjalan melewati sebuah sungai, sawah, dan hutan untuk mencapai sekolahku yang luar biasa itu. Sekolahku sungguh luar biasa, walaupun sekolah itu kecil, kumuh, dan kekurangan fasilitas, tetapi disitulah tempat dimana aku dan murid lainnya dapat menimba ilmu untuk menjadi penerus bangsa yang membanggakan. “Penerus bangsa yang membanggakan” itulah yang selalu diucapkan oleh guru ku, aku masih belum mengerti apa maksud dari kata-kata itu, tetapi aku tetap ingin mencapai cita-citaku. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya sekolahku terlihat juga.
            “Asalamualaikum,” ucap guruku menyapa
            “Walaikumsalam,”jawabku dan murid lainnya serentak
            Kami belajar dari pukul tujuh lewat lima belas hingga pukul 12 tepat. Hari ini Kami guru kami memberitahu bahwa adanya biaya yang dibutuhkan untuk merenovasi sekolah agar atap yang usang itu tidak mencelakai kami. Guru kami pun berpesan bahwa kami harus menabung demi masa depan.
“Aku masih belum mengerti untuk apa guru kami menyuruh kami untuk menabung, padahal mencari duit saja sudah susah bagaimana kami mau menabung,” ucapku dalam hati
Akhirnya, bunyi kentongan bambu pengganti lonceng pun berbunyi, tanda pelajaran sudah usai dan kami dapat kembali pulang. Dengan lekas aku mengganti pakaian seragam dan sepatuku dengan pakaian dan sendal jepit untuk pergi ke pasar sebagai tukang semir sepatu. Aku tidak ingin terlalu banyak membebanku Ibuku, belum lagi adikku yang sebentar lagi mau mendaftar sekolah. Aku tidak tega melihat Ibuku kesusahan. Walaupun Aku perempuan tapi Aku harus bisa melakuka pekerjaan selain mengurus rumah.
“Ndok, tolong semir sepatu ini ya,”kata seorang bapak menyodorkan sebuah sepatu
            Berwarna hitam
            “Iya pak,”jawabku mengambil sepatu dari tangan bapak itu.
            Segala sudut pasar sudah ku kelilingi mencari orang-orang yang membutuhkan jasa semir sepatuku, tak terasa hari sudah petang, Aku harus kembali pulang. Cukup lumayan penghasilan menyemir sepatuku hari ini. Kali ini aku dapat uang sebanyak enam ribu lima ratus rupiah yang berupa recehan, lima ribu rupiah ku berikan untuk Ibuku, seribu rupiah untuk ku simpan, dan lima ratus rupiah untuk uang jajan aku dan adik-adik aku. Aku senang jika pulang membawa uang sebanyak ini, tetapi tak jarang juga untukku jikalau kembali pulang dengan tangan kosong.
            “Asalamualaikum, Bu, Dek, Ita pulang,” tuturku sampai dirumah, mengucapkan
            salam
            “Walaikumsalam, eh teh Ita sudah pulang,”jawab Ibuku
            “Iya, Bu. Oh iya, Bu, Ita punya sedikit rejeki dari hasil menyemir sepatu hari ini,”
            Ucapku menyodorkan uang lima ribu rupiah berupa recehan kepada Ibuku
            “Wah, ini banyak sekali teh, kamu dapat ini darimana? Ini halalkan?” tanya Ibuku
            “Astagfiruloh Bu, Ibu jangan suzon gitu Bu, Hari ini cukup banyak orang yang ingin sepatunya disemir, belum lagi ketika aku mencari kembalian, mereka memberikan kembaliannya untukku, Bu,” jawabku menjelaskan
            “Apa benar itu?”tanya Ibuku lagi
            “Iya Bu, demi Allah ini halal, Bu” jawabku penuh kejujuran
            “Iya Ibu percaya”jawab Ibuku
            “Oh iya, Bu, Ini ada lagi, Ini bisa disimpan agar aku bisa melanjutkan sekolah lagi, Bu. Aku tahu kalau Ibu sudah tidak punya uang lagi kan, Bu, tetapi Aku ingin menepati janji Ayah, Bu, Aku ingin mencapai cita-citaku,” tuturku penuh harapan
            “Ndok, maafin Ibu, Ndok, kamu seharusnya tidak perlu memikirkan ini, tugas kamu yang penting itu belajar, ndok,” jawab Ibuku meneteskan air mata
            “Tapi, Bu, Ita ingin meringankan beban Ibu, Bu” ucapku dihujani tetassan air mata
            “Baiklah, ndok, yang penting kamu bahagia, Ibu senang. Akan Ibu tabung uang mu ini untuk kamu dan adik-adikmu,” jawab Ibuku mengusap air mataku dan mengambil seluruh uang yang ku berikan
           
*bersambung*