Tema :
Menumbuhkan Budaya Menabung
Semangat Untuk Masa Depan
oleh : Widia Angelina
Terdengar suara ayam jantan yang mengganggu lelapnya, burung-burung
beradu nyanyian, semilir angin yang menggelitik bulu romaku di pagi hari ini.
Secangkir air putih, serta nasi dan kerupuk menyapa perut yang sudah beradu.
Bersiap mengenakan baju putih dan rok biru yang kusut, dan sepatu rusak
peninggalan Ayahku. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Ayah meninggalkan kami,
kasihan Ibuku yang harus menjaga dan menafkahi Aku dan kedua adikku. Beberapa
kata terakhir yang diucapkan oleh Ayahku, dan selalu terngiang di dalam benakku
adalah bahwa Ayah ingin aku terus sekolah dan membahagiakan Ibu dan kedua
adikku.
“Bu, Saya berangkat sekolah ya,”ucapku menyium tangan
Ibuku, berpamitan,
“Iya, ndok, kamu hati-hati ya,”jawab Ibuku
“Iya, Bu,”jawabku lagi
Hari masih menunjukan pukul 05.10 pagi, aku tahu karena
selalu aku mengintip jam dari sebuah warung yang letakknya tidak jauh dari
gubuk kecilku. Aku berjalan melewati sebuah sungai, sawah, dan hutan untuk
mencapai sekolahku yang luar biasa itu. Sekolahku sungguh luar biasa, walaupun
sekolah itu kecil, kumuh, dan kekurangan fasilitas, tetapi disitulah tempat
dimana aku dan murid lainnya dapat menimba ilmu untuk menjadi penerus bangsa
yang membanggakan. “Penerus bangsa yang membanggakan” itulah yang selalu
diucapkan oleh guru ku, aku masih belum mengerti apa maksud dari kata-kata itu,
tetapi aku tetap ingin mencapai cita-citaku. Setelah berjalan cukup lama,
akhirnya sekolahku terlihat juga.
“Asalamualaikum,” ucap guruku menyapa
“Walaikumsalam,”jawabku dan murid lainnya serentak
Kami belajar dari pukul tujuh lewat lima belas hingga
pukul 12 tepat. Hari ini Kami guru kami memberitahu bahwa adanya biaya yang
dibutuhkan untuk merenovasi sekolah agar atap yang usang itu tidak mencelakai
kami. Guru kami pun berpesan bahwa kami harus menabung demi masa depan.
“Aku
masih belum mengerti untuk apa guru kami menyuruh kami untuk menabung, padahal mencari
duit saja sudah susah bagaimana kami mau menabung,” ucapku dalam hati
Akhirnya,
bunyi kentongan bambu pengganti lonceng pun berbunyi, tanda pelajaran sudah
usai dan kami dapat kembali pulang. Dengan lekas aku mengganti pakaian seragam
dan sepatuku dengan pakaian dan sendal jepit untuk pergi ke pasar sebagai tukang
semir sepatu. Aku tidak ingin terlalu banyak membebanku Ibuku, belum lagi
adikku yang sebentar lagi mau mendaftar sekolah. Aku tidak tega melihat Ibuku
kesusahan. Walaupun Aku perempuan tapi Aku harus bisa melakuka pekerjaan selain
mengurus rumah.
“Ndok,
tolong semir sepatu ini ya,”kata seorang bapak menyodorkan sebuah sepatu
Berwarna hitam
“Iya pak,”jawabku mengambil sepatu dari tangan bapak itu.
Segala sudut pasar sudah ku kelilingi mencari orang-orang
yang membutuhkan jasa semir sepatuku, tak terasa hari sudah petang, Aku harus
kembali pulang. Cukup lumayan penghasilan menyemir sepatuku hari ini. Kali ini
aku dapat uang sebanyak enam ribu lima ratus rupiah yang berupa recehan, lima ribu rupiah ku
berikan untuk Ibuku, seribu rupiah untuk ku simpan, dan lima ratus rupiah untuk
uang jajan aku dan adik-adik aku. Aku senang jika pulang membawa uang sebanyak
ini, tetapi tak jarang juga untukku jikalau kembali pulang dengan tangan
kosong.
“Asalamualaikum, Bu, Dek, Ita pulang,” tuturku sampai
dirumah, mengucapkan
salam
“Walaikumsalam, eh teh Ita sudah pulang,”jawab Ibuku
“Iya, Bu. Oh iya, Bu, Ita punya sedikit rejeki dari hasil
menyemir sepatu hari ini,”
Ucapku menyodorkan uang lima ribu rupiah berupa recehan kepada Ibuku
“Wah, ini banyak sekali teh, kamu dapat ini darimana? Ini
halalkan?” tanya Ibuku
“Astagfiruloh Bu, Ibu jangan suzon gitu Bu, Hari ini
cukup banyak orang yang ingin sepatunya disemir, belum lagi ketika aku mencari
kembalian, mereka memberikan kembaliannya untukku, Bu,” jawabku menjelaskan
“Apa benar itu?”tanya Ibuku lagi
“Iya Bu, demi Allah ini halal, Bu” jawabku penuh
kejujuran
“Iya Ibu percaya”jawab Ibuku
“Oh iya, Bu, Ini ada lagi, Ini bisa disimpan agar aku
bisa melanjutkan sekolah lagi, Bu. Aku tahu kalau Ibu sudah tidak punya uang
lagi kan, Bu, tetapi Aku ingin menepati janji Ayah, Bu, Aku ingin mencapai
cita-citaku,” tuturku penuh harapan
“Ndok, maafin Ibu, Ndok, kamu seharusnya tidak perlu
memikirkan ini, tugas kamu yang penting itu belajar, ndok,” jawab Ibuku
meneteskan air mata
“Tapi, Bu, Ita ingin meringankan beban Ibu, Bu” ucapku
dihujani tetassan air mata
“Baiklah, ndok, yang penting kamu bahagia, Ibu senang.
Akan Ibu tabung uang mu ini untuk kamu dan adik-adikmu,” jawab Ibuku mengusap
air mataku dan mengambil seluruh uang yang ku berikan
*bersambung*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar