Sabtu, 24 Juli 2010

Maaf, Lily!

___buatan sodaraku lagi___


Aku berjalan menyusuri gang. Rumahku masih sedikit jauh, yang memang letaknya di ujung gang. Panas matahari yang membakar membuatku merasa sangat haus. Ingin ku percepat langkahku. Tapi, tenagaku rasanya sudah habis. Huhh, ayo semangat Lily!
Sampai di depan pintu rumah, ku buang nafas lega. Ku lepas sepatu yang baru dua hari kemarin ku beli di tukang loak. Maklum, uang tabunganku tak cukup membeli sepatu mahal. Tiba-tiba dari arah dalam ku lihat Ayahku datang dengan muka penuh amarah.
“Dariman saja kamu?” bentak Ayah mengagetkanku.
“Aku pulang sekolah Ayah. Tadi, angkotnya lama jadi aku sedikit telat,” jawabku takut.
“Sudah berani berbohong ya?” kali ini bentakannya diimbuhi jambakan di rambutku.
“Aku tidak bohong, Ayah,” kataku membela diri.
“Sudah, cepat masuk. Aku lapar, masak sana!” kata Ayah sambil mendorongku masuk. Aku menganguk dan langsung masuk kamar. Mengganti pakaian dengan cepat dan langsung ke dapur. Aku tidak mau dengan alasan aku lama di kamar Ayah harus menjambak rambutku lagi.



Jam dikamarku sudah menunjukkan pukul 23.02. Aku belum bisa tidur. Mengantuk pun tidak. Aku rebahkan badanku di atas kasur yang keras ini, yang sungguh sering membuat puggungku sakit. Tiba-tiba hand phone ku bordering. Ramdan?
“Hallo . . .” suaraku pelan mengawali. Karena kalau Ayah sampai mendengar suaraku, pasti akan ia jadikan alasan untuk menamparku.
“Hai Lily, belum tidur?” tanya Ramdan lembut.
“Belum. Aku gak ngantuk dan. Kamu sendiri?”
“Aku juga. Aku kepikiran kamu Ly,”
“Ngapain mikirin aku?”
“Aku tahu kamu lagi sedih Ly. Certain aja sama aku. Aku pasti dengerin,” tawaran Ramdan begitu tulus terdengar. Aku terdiam sesaat. Darimana dia tahu aku lagi sedih?
“Tadi siang di sekolah, Tania mengatai-nagataiku. Dua hari yang lalu dia melihatku membeli sepatu di tikang loak. Terus, waktu aku lagi ngaca di WC sekolah, Sandra bilang kalau aku itu jelek, buat apa ngaca? Aku tahu aku jelek, jadi dia gak perlu teriak-teriak sekeras itu. Dan satu lagi, Dio, melempar tasku ke atap waktu pulang sekolah tadi. Aku harus bersusah payah mengambilnya sampai aku pulang telat dan Ayahku marah-marah sampai menjambak rambutku,” aku bercerita panjang lebar hingga air mataku mulai jatuh satu-satu. Ramdan terdiam mendengarku menangis. Ia tak mencoba mengatakan sesuatu yang kiranya bisa menenangkanku. Tapi itu sudah adatnya.
“Ly, kamu itu kuat kok. Jadi gak perlu nangis,” ucap Ramdan di akhir telfon. Dia sering mengatakan itu padaku selama enam bulan aku berpacaran dengannya. Aneh memang. Aku dan Ramdan berpacaran tapi sekali pun belum pernah bertatap muka. Aku mengenalnya hanya lewat suaranya. Memahami dirinya dari setiap kata yang terucap. Sedikit pun tak pernah terbesit niatku untuk mengajaknya bertemu. Aku takut dia akan menjauhiku setelah ia tahu bahwa Lily itu hanyalah gadis jelek, hitam, miskin, dan selalu jadi bahan hinaan di sekolah. Ramdan sangat baik padaku. Selalu ada saat aku sedang butuh teman. Selalu mengerti perasaanku tanpa harus aku memberitahunya. Kadang aku berpikir, mungkin Tuhan mengirim malaikatnya untuk menemani kesendirianku dalam wujud Ramdan.




“Ibu . . . Apa kabar? Maaf, aku jarang mengunjungi ibu. Ayah akan marah besar kalau aku pulang telat. Aku kesepian tidak ada ibu di rumah. Setiap jam, setiap menit, setiap saat, aku selalu merindukan ibu. Aku berharap ibu bisa mendengarku. Kata Ramdan aku itu wanita yang kuat. Tapi, dia salah. Aku tidak cukup kuat menjalani kehidupanku yang jauh dari bahagia. Aku wanita yang lemah. Kenapa ibu tidak mengajakku pergi bersama ibu? Tega sekali ibu meninggalkan aku sendirian,” isakku di depan makam ibu, yang kiranya sudah dua tahun silam ibu disemayamkan.
Setelah beberapa lama aku berada di makam ibu, aku bergegas pulang. Hari ini ada jadwal les di sekolah. Tapi, aku membolos. Kalau tidak nyolong-nyolong waktu gini, tidak akan pernah ada waktu untuk mengunjungi makam ibu. Memang letaknya tidak jauh dari rumah. Tapi Ayah akan marah besar bila tahu aku ada disini. Aku tak mengerti mengapa Ayah sangat mambenciku. Berbeda sekali saat aku masih kecil dulu. Ia sangat menyayangiku. Semua berubah saat Ayah dipecat dari pekerjaannya. Ia menjadi lelaki temperamental. Mungkin ia frustasi, atas kejadian dua tahun silam itu. Tapi itu sudah sangat lama kan? Harusnya Ayah bisa melupakanya dan menjalani kehidupan baru bersamaku.
Rasanya aku ingin mati saja. Ragaku tak sanggup menerima siksaan Ayah yang tak ada habisnya. Batinku terlalu lelah menangisi hidupku yang sendiri tanpa ibu. Dan tanpa alasan yang jelas, ada satu kelompok geng di sekolah yang sangat membenciku. Aku tidak pernah merasa mengganggu mereka. Tapi, mengapa mereka tak berhenti menghina dan mengerjaiku?




Aku berjalan menunduk kesal. Kedua tanganku mencubit-cubit bagian bawah bajuku. Ku percepat langkahku menjauhi suara tawa keras yang menyakitkan kupingku. Tak berani sedikit pun aku menengok ke belakang. Bahkan sudah sejauh ini suara tawa Tania, Sandra, Putri, Beni, masih jelas terdengar menertawaiku yang sengaja didorong Dio masuk ke got. Dan dengan suara keras yang dibuat-buat Tania berkata, “Aduh, sepatu baruku jadi kotor deh!”
Cukup Lily! Jangan menangis. Lily itu kuat. Aku kuaaaat! Hatiku memprotes keras tindakan lemah yang baru saja aku lakukan. Menangis. Tapi rupanya mataku tak sekuat protesku. Air mata terus saja mengucur deras. Aku berlari ke kamar mandi.
Ku usap wajahku dengan air keran. Kini air mataku telah bertemu air yang lain. Menambah basah wajahku. Ya Tuhan, dosa apa aku ini? bisik hatiku mencoba mengharap keadilan Tuhan. Tiba-tiba kurasakan pundakku disentuh seseorang. Spontan aku berbalik. Dan . . .
“Hhahahaha . . .” Tania dan Putri tertawa terbahak-bahak melihat bajuku ikut basah karena satu ember air yang mereka siramkan ke arahku.
“Orang kaya’ kamu itu, kalo’ cuci muka butuh air satu ember biar bersih. Tapi Tan, kasian deh bajunya jadi basah. Nanti dia bisa masuk angin,” ujar Putri.
“Oh iya, mau minyak kayu putih gak?” tanya Tania seraya mendekatiku.
“Nggak, makasih,” ucapku pelan.
“Gak mau minyak kayu putih ya? Ya udah nih aku kasih balsam,” Tania berusaha mengoleskan balsam pada wajahku. Aku berhasil mengelak dan hanya tanganku yang terkena balsam. Mereka kembali tertawa. Aaah, aku benci suara itu. aku berlari menuju kelas dengan keadaan basah kuyup untuk mengambil tas, karena sudah waktunya pulang.
Aku masih berada di dalam kelas menunggu semua orang pulang, terutama Tania dan teman-temanya. Aku lebih suka pulang paling terakhir daripada harus bersama mereka. Aku tidak mau ada keisengan mereka lagi yang harus membuatku pulang telat. Dan kini kelas telah kosong. Sepi. Aku terdiam dalam hening. Tertunduk menahan sedih. Terpaku tak bergerak.
Kurasakan hand phone di dalam tasku bergetar. Sembari melangkah keluar ku ambil hand phone ku dan . . . Ramdan? Aku tersenyum senang. Disaat seperti ini dia selalu hadir tanpa diminta.
“Ada apa Lily?” tanya Ramdan yang membingungkanku. Harusnya aku yang bertanya begitu.
“Aku tahu kamu pasti lagi sedih. Certain aja!” lanjut Ramdan yang semakin membingungkanku. Darimana dia selalu tahu kalau aku lagi sedih? Mungkinkah dia memang malaikat Tuhan yang dikirim untukku?
Tapi akhirnya ku ceritakan semua yang baru saja terjadi. Yang memang membuatku bersedih. Tak ada yang ku sembunyikan. Semua lancar ku buka. Alhasil, perasaan menjadi lebih nyaman sekarang.
“Ramdan, kenapa kau sangat baik padaku?”
“Aku gak bisa jelasin untuk apa semua ini. aku cuma melakukan apa yang seharusnya aku lakukan,”
“Kenapa? Pasti ada alasan dibalik semua ini kan?”
“Kalau begitu kita harus bertemu. Aku akan jelaskan padamu secara langsung.”
“Aku tidak bisa Ramdan,” jawabku pelan.
“Kenapa? Ku mohon Ly,”
“Aku benar-benar tidak bisa,” ujarku cepat dan langsung mematikan telfon.
Aku bingung. Sangat bingung. Aku ingin, ingin sekali bertemu dengannya. Tapi bagaimana kalau setelah tahu aku, dia kecewa lalu menjauhiku. Bodoh! Kenapa aku sejahat ini pada Ramdan. Tak ingatkah aku siapa yang selama ini menemaniku saat aku sedih dan butuh teman. Bahkan tanpa diminta Ramdan selalu hadir menawarkan ketenangan. Ah, aku menyesal telah berlaku seperti ini. Ramdan pasti sangat kecewa padaku. Seharusnya aku mau saja diajaknya bertemu. Kalaupun nantinya dia akan menjauhiku, itu bukan salahnya. Aku tidak boleh egois seperti ini. Kemudian, sebagai tanda sesalku, ku coba menelfon Ramdan. Tak jauh dari tempatku berdiri, ku dengar suara dering telfon. Entah perintah dari mana yang membuatku mencari si sumber suara. Dapat. Kuperhatikan sosok punggung itu. Lelaki itu menerima telfonya bersamaan dengan terdengarnya suara “hallo” di telfonku.
Refleks, ku matikan telfonku. Ku coba mendekati punggung itu seraya menelfon Ramdan lagi. Dan, lagi-lagi dering itu terdengar. Sosok lelaki itu menerima telfonnya lagi.
“Hallo Lily, ada apa?”
Karena tidak ada jawaban, Ramdan mencoba memanggilku lagi, “Lily, kau dengar suaraku?”
“Aku dengar. Sangat jelas, Dio,” jawabku saat aku sudah berada tepat di belakang punggung itu.
“Lily? Kamu ngapain disini?” kata Dio gugup.
“Dio? Kau kah Ramdan?” tanyaku tak percaya.
Dio terdiam sesaat. Ia hanya memandangiku dengan tatapan sesalnya. Rupanya dia ada latihan basket hari ini. aku tahu, karena ia sudah mengenakan baju basket.
“Selama ini aku berpura-pura menjadi Ramdan karena aku kasihan sama kamu Lily. Tapi saat di sekolah aku tetaplah Dio, pacar Tania. Aku tidak bisa menolak ajakan mereka untuk selalu mengerjaimu karena aku sangat mencintai Tania dan hatiku telah buta dibuatnya. Aku tahu kenapa Tania sangat membencimu. Karena dia tak pernah bisa mengalahkanmu dalam segala hal. Jadi, dia berusaha membuatmu tidak betah di sekolah dan berharap kau bisa pindah dari sini. Supaya dia bisa meraih juara satu dan bukan hanya juara dua. Tapi sebenarnya aku tidak tega melihatmu diperlakukan seperti itu. Jadi, aku menjadi Ramdan untuk menolongmu. Aku tahu aku salah. Maaf, Lily!” jelas Dio tanpa diminta.
Dio berjalan meninggalkanku yang sendirian terpaku di tempat. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang aku bisa hanya menangis sekuat-kuatnya. Hatiku sungguh tak dapat menerima penjelasan Dio yang sangat melukaiku. Malaikat yang selama ini aku puja adalah Dio yang tega mendorongku masuk got dan menjadikannya bahan tertawa mereka. Lalu layaknya malaikat ia menawarkan diri untuk menjadi tempat curhatku sebagai Ramdan. Dan semua itu hanyalah KASIHAN??
Gara-gara terlalu lama di sekolah, aku jadi pulang telat. Aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi padaku saat sampai di rumah nanti. Tapi hatiku benar-benar sedang kacau. Aku tak berusaha berjalan lebih cepat agar lekas sampai di rumah. Aku tetap melangkah gontai menyusuri gang. Pengakuan Dio benar-benar membuatku frustasi. Sakit. Sakit sekali yang aku rasakan. Perhatian yang aku rasa sebagai ketulusan ternyata hanyalah sebuah iba.
“Darimana kamu?” tanya Ayah yang sudah duduk menungguku di depan rumah.
“Aku pulang sekolah Yah,” jawabku langsung melangkah masuk ke dalam rumah.
“Heh, Ayah sedang bicara padamu! anak tidak sopan,” kata Ayah yang langsung menamparku. Aku diam. Tubuhku rasanya sudah mati rasa, aku tak merasakan sakit di pipiku yang sudah merah ini.
Ku tatap mata Ayah dengan berani. Dua pasang mata beradu pandang saling menantang. Mataku mulai berair. Tapi pandanganku tak lepas dari sorot mata yang sangat tajam itu.
“Bahkan, mata Ayah pun membenciku. Haha, Memang siapa yang tidak membenciku?” ujarku sambil berlalu. Air mataku menangisi perihnya hatiku karena tamparan tatapan kebencian Ayah.
Aku terduduk lesu di atas tempat tidur. tak lama kemudian, Ku lihat Ayah menyibak hordeng kamarku yang tak berpintu. “Cepat ganti baju dan buatkan kopi untuk Ayah!” katanya kemudian berjalan ke belakang.
Tanpa suara ku berikan kopi yang baru saja aku buat di meja depan Ayah di halaman belakang. Lalu aku berjalan masuk. Tapi baru saja aku sampai pintu dapur, teriakan Ayah mencegah langkahku.
“Kau mau membuat Ayah sakit diabetes?” teriaknya. Aku tak menjawab.
“Coba kau rasakan kopimu ini. Berapa kilo gula yang kau masukan ha?” kata Ayah lagi sambil menyiramkan kopi panas itu. Aku mulai menangis lagi.
“Aku lupa berapa sendok ku masukkan gulanya. Tapi, walaupun sudah aku tambah terus tetap saja tak kurasa manis,” jawabku sambil mengusap air kopi yang sampai muncrat ke mukaku.
“Kamu sudah gak waras ya? Ngerasain manis aja kok gak bisa,”
“Hidupku terlalu pahit Ayah. Aku tak tahu rasa manis itu seperti apa,” ujarku pelan.
Ayah diam. Ia tak membentakku lagi, tapi ia mendekatiku. Mungkin akan memukul atas kelancanganku. Dan benar saja. Tangannya yang sudah akrab dengan kekerasan yang ia lakukan tak tahan juga kalau hanya berdiam.
“Apa salahku pada Ayah sampai Ayah selalu menyiksaku?”
“Kau mau tahu apa salahmu? Wajahmu itu sangat mirip dengan ibumu. Itu kesalahan terbesarmu. Setiap Ayah melihatmu, Ayah langsung teringat ibumu. Memang seharusnya kau mati ikut dengan ibumu,” jawab Ayah.
“Memang kenapa dengan ibu? Bukankah Ayah sangat menyayanginya?”
“Ya. Ayah memang sangat menyayanginya sebelum ia mulai bermain gila dengan teman sekantornya itu. Itulah ibumu, ia tinggalkan Ayah karena Ayah sudah tak punya pekerjaan lagi. Dan mulai hari itu Ayah sangat membencinya. Juga semua hal yang berhubungan dengan ibumu termasuk kau! Tak ada bedanya kalian berdua,”
“Tapi aku ini kan anak Ayah. Aku pun sangat menyayangi Ayah,”
“Jangan harap aku bisa menyayangimu karena air mata buayaamu itu ya! Rasa benciku tak bisa di tawar hanya dengan acting murahan kamu itu,” ujar Ayah sambil menarik rambutku kuat.
“Sakit Ayah, sakit,” jeritku kesakitan.
“Sakit ya? Hahaha, rasakan itu!”
““Kenapa Ayah sangat benci aku? Kenapa? Padahal aku sangat menyayangi Ayah. Aku selalu bertahan hidup dengan semua perlakuan Ayah padaku. Karena aku tidak akan tega melihat Ayah sendirian mengurus diri. Aku tidak pernah sekali pun melawan setiap perintah Ayah, walaupun kupingku rasanya sakit sekali karena Ayah berteriak setiap saat. Ayah selalu menuntut aku untuk menjadi siswa yang pintar. Aku selalu menjadi juara satu di sekolah, tapi Ayah tak pernah bangga dengan hasil belajar kerasku. Apa salahku pada ayah? Kalaupun aku mirip dengan ibu, apakah pernah aku menghianati Ayah? Kalau Ayahku sendiri saja tak menginginkanku, untuk apa aku hidup? Lebih baik aku mati saja,”
Aku langsung berlari meninggalkan Ayah yang berteriak keras, “Mati. Mati saja sana. Susul ibumu. Pergi kamu dari hidupku. Hahaha . . . “
Ya Tuhan, apa lagi yang bisa membuatku untuk bertahan sekarang? Ayah ingin aku mati. Ku lihat hand phone yang menggeletak di meja belajarku. Sekarang aku tidak punya Ramdan yang biasanya menenangkanku. Aku telah kehilangan semuanya. Ibu, Ayah, Ramdan, keadilan, kasih sayang, semua tak pantas untukku. Aku tak berguna disini. mungkin hanya Tuhan yang mau menerimaku. Ya, aku harus menemui Tuhan. Aku akan bahagia disana. Tidak menderita seperti ini!



Sekolah masih begitu sepi. Dio masuk kelas dan keadaan tak berbeda.
“Apa yang kau lakukan?” teguran Dio mengagetkan Tania yang sedang mengoleskan lem di bangkuku.
“Ah, Dio? Apa kau sudah buta. Aku sedang mengoles lem di bangku Lily,”
“Tania, gak seharusnya kau mebenci Lily. Selama ini dia mengajakmu untuk bersaing secara sehat kan? Dia juga tidak pernah membalas kebencianmu kan? Bahkan, dia selalu menolongmu kalau kau ada kesulitan. Kau ingat? Dia tidak meninggalkanmu waktu kau terjatuh saat kita lomba lari, padahal kau lawannya, dia rela kalah demi untuk menolongmu”
“Aku . . . Aku Selalu ingin juara satu. Dan dia merebutnya. Dalam semua hal Lily selalu lebih unggul dariku. Guru-guru bilang aku harus banyak belajar darinya, dan aku tidak suka semua orang menganggap aku lebih bodoh darinya. Dia itu msuhku, Dio. Jadi dia harus pergi dari sini,”
Mereka berdua hanya terdiam beberapa saat. Tania menunduk lemah seperti ada yang sedang dipikirkannya. Dio membiarkannya dalam hening.
“Tapi, kau benar Dio. Gak seharusnya aku membenci Lily. Aku sudah terlalu jahat padanya, aku terlalu terobsesi pada keinginanku sendiri tanpa memikirkan perasaannya. Aku . . . menyesal atas semua ini. aku harus minta maaf padanya,” ujar Tania.
“Terlambat Tan. Lily sudah pergi, sesuai maumu!”
“Memang dia pindah kemana? Nanti kita ke rumahnya ya,”
“Sekarang aku mau mengajakmu ke rumahnya. Ayo Tan, teman-teman sekelas sudah ada disana semua,” Dio menarik tangan Tania, yang ditarik nurut.
“Lily . . . ,” Ayah tak berhenti berteriak memanggilku sejak semalam. Ia terus menangis merongrong menyesali perbuatannya. Ia pukul dirinya sendiri, ia tampar wajahnya sekuat-kuatnya, bahkan mungkin perutnya sudah terhunus pisau kalau para tetangga tidak mencegahnya.
Tania menangis di pelukan Dio melihat aku terbujur kaku dengan luka sobekan di pergelangan tanganku, dalam balutan kain putih bersih sebagai baju terakhirku. Ia mengumpat kesal pada dirinya sendiri karena tidak sempat minta maaf sebelumnya padaku. Teman-teman yang selama ini ikut mengerjaiku bersama Tania pun menangis sedih. Kenapa mereka ini? Kenapa menghujani rumahku dengan air mata? Apa karena sudah tidak ada si hitam Lily yang bisa mereka hina lagi? Atau karena mereka sudah tidak bisa mengerjaiku lagi? Haha, kenapa mereka menangis saat aku bisa tersenyum? Dan tidak membiarkanku tersenyum saat aku ingin? Dan kenapa aku jadi lupa caranya menangis? Atau mungkin aku sudah bosan. Ahh, manusia memang aneh!
Hujan gerimis pagi itu menambah sendu suasana di pemakaman. Semua orang telah pergi. Tidak ada isak tangis yang menemani tanah perkuburanku. Hanya Ayah seorang diri masih menangis disitu. Aku menatapnya penuh kasih. Dan kali ini kutemukan pancaran kasih yang sama di mata Ayah. Kasih yang entah sudah berapa lama hilang dari hatinya. Aku tetap mematung di tempat menemani Ayah. Sampai saat senja datang dan mulai kurasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Seberkas cahaya putih mengangkatku dari tempat. “Selamat tinggal Ayah,” bisikku diantara gemuruh suara angin.
“Sebenarnya Ayah tidak pernah membencimu nak. Ayah juga tidak tahu mengapa Ayah lakukan itu padamu. Mungkin karena Ayah selalu teringat penghiatan ibumu. Ayah menyesal,”
Hari mulai malam. Ayah berdiri dari tempatnya hendak pulang. Sebelum ia meninggalkan pemakaman ia berbisik pada dirinya sendiri, “Maaf, Lily!”


By : Sevilla

Tidak ada komentar:

Posting Komentar