Sabtu, 24 Juli 2010

Sepotong Singkong Untuk Nenek

___ Cerpen ini buatan sodara saya.. ___

Siang itu begitu terik. Mentari berada penuh di singgasana. Merasa bangga dan tertawa atas dirinya. Sungguh, hanya orang edan yang tidak terasa dipanggang.
Sesosok tubuh kecil berlari cepat, mengejar selamat. Menerobos pohon-pohon singkong, menginjak-injak tanah tak sopan. Ia sampai di pinggir kebun singkong, dengan lincah ia melompati sebuah irigasi yang sudah tak berair, hanya ada tanah dan batu yang mongering. Kaki kecil tak beralas itu berlari lagi.
Kira-kira 20 meter dari rumahnya, gadis kecil itu menghentikan larinya. Ia berjalan pelan dan mengatur nafas. Matanya terpaku memandang ke depan, ke rumahnya. Rumah dengan ukuran kecil berdinding bamboo, dan berlantai tanah itu sangat tua. Gentingnya yang mulai pecah dan bergeser membuat si penghuni merasa kesal saat hujan.
“Nek . . .” suara Ning sedikit keras memnggil neneknya. Matanya menerobos mencari yang dipanggil. Tak lama, seorang wanita tua menyibak hordeng yang sudah lusuh.
“Darimana Ning?”
“Tadi aku main sama Lina, terus di jalan aku nemu ini,” jawab Ning sambil menunjukkan dua buah singkong yang ada di tangannya.
“Benar? Bukannya itu singkongnya pak Gusman?” tanya Nenek menyelidik.
Ning diam. Bibirnya tak mau mencoba berdusta. Hatinya ciut. Pasti neneknya juga sudah tahu kalau dua hari kemrin dia juga nyolong singkong di kebunnya pak Gusman.
“Ning, nenek kan udah berkali-kali bilang jangan mencuri. Dosa! Tadi bu Gusman datang kesini, dia mencari kamu. Dia bilang kalau kemarin lusa kamu mencuri di kebunnya. Nenek malu. Kamu masih tujuh tahun dan wanita pula. Kok udah pinter nyolong,” lanjut nenek.
“Tapi aku lapar nek. Kita udah dua hari tidak makan. Cuma minum air putih sama tadi pagi makan jambu layu sisa kemarin. Kebun pak Gusman luaaa . . . aas banget. Pasti dia ikhlas nek,” jawab Ning mencoba membela diri. Matanya mulai berkaca-kaca.
Nenek memandang wajah Ning penuh iba. Anak seusia Ning harus mengalami takdir yang sungguh tidak bisa dibilang bagus. Harusnya ia bisa bersekolah seperti teman-temannya. Makan makanan enak dan bergizi, memakai baju yang setidaknya tidak sobek dan pudar karena terlalu sering dicuci. Tapi, sejak usia enam tahun, ia sudah terbiasa berpuasa.
Bapak dan Ibu Ning sudah berpulang. Keduanya meninggal dalam kecelakaan. Saat itu Ning masih berusia enam belas bulan. Dan sejak saat itu, Nene sendirian merawat Ning. Mereka berdua tinggal di rumah reyot peniggalan orang tua Ning, yang sering nenek sebut sebagai gubuk. Nenek hanyalah seorang pemulung sampah. Penghasilannya tak seberapa. Uang bayaran hari itu, habis untuk makan hari itu juga. Dan Ning, hanyalah gadis kecil tak berdosa yang bernasib kurang baik.
Karena tak sanggup melihat wajah Ning yang memucat, nenek akhirnya memenuhi permintaan Ning untuk membakar singkong itu. Lalau mereka makan bersama. Nenek sudah tak ingat dengan nasihat-nasihatnya tadi. Yang ia tahu, perutnya dan perut Ning memanggil-manggil untuk diisi.

_________________

Nenek meletakkan keranjang sampah di samping rumah. Badan tuanya terasa lelah dan letih. Ia melangkah masuk ke rumah. Hendak mandi dan shalat ashar.
“Ning, kamu kenapa?” nenek terkejut saat memasuki kamar, mendapati Ning sedang menangis di sudut ruang.
“Nek, kapan aku sekolah?” ujar Ning di sela tangisnya.
“Sekolah? Lho, kamu ini kenapa kok tiba-tiba tanya sekolah?”
“Tadi pagi waktu aku ke rumah Lina, dia lagi sarapan mau berangkat sekolah. Aku juga pengen sekolah. Biar bisa baca kaya’ Lina,” Ning melihat ke bawah. Kakinya yang mungil kusam kena’ debu.
“Ning, nenek pengen, pengen banget kamu bersekolah. Belajar dan menjadi pintar. Tapi mau bayar pake’ apa to Ning?”
Nenek duduk memeluk gadis kecil itu. Menyatukan rasa dan asa. Merasakan yang dirasa.
“Ya sudah, kita shalat ashar aja yuk. Berdo’a supaya Alla member kita rejeki yang banyak,”
Ning mengikuti langkah neneknya. Otaknya tak berhenti bekerja. Mencoba memahami kata-kata yang baru saja mampir di telinganya. Mencari makna yang bisa ia terima.

_______________

Sudah dua hari Ning tidak menemukan satu butir nasi pun di atas meja makannya. Hanya ada air dingin di dalam kendi. Tadi pagi ia hanya sahur dengan papaya pemberian tetangganya kemarin sore dan ia bagi dua dengan neneknya. Sudah tiga hari nenek sakit. Uang telah habis. Dan mereka tidak mendapat uang untuk makan sekarang. Badan nenek panas dan mukanya pucat. Sesekali terdengar ia terbatuk-batuk. Terkadang ia memegangi perutnya menahan perih karena sudah dua hari tidak makan. Ning merasa sangat kasian melihat keadaan neneknya. Ia ingin sekali membawa neneknya berobat. Tapi, apa yang nisa ia lakukan?
Hujan pagi itu sangat tidak menyenangkan bagi Ning. Tentu saja atap rumah mereka yang sudah usang tidak mungkin dapat menahan derasnya hujan. Tetesan air ada dimana-mana. Lantai mereka yang dari tanah menjadi becek dibuatnya. Berbeda dengan penduduk desa yang memuja-muja ke-Agungan Tuhan karena hujan tadi pagi adalah jawaban do’a mereka setelah sekian lama kemarau panjang.

________________

Sudah empat hari nenek sakit. Ia masih terbaring lemah di tempat tidur. dan perut mereka masih tetap seperti kemarin. Kosong! Ning duduk di pinggir kasur. Matanya tak henti menatap sosok wanita tua yang terlihat pucat itu. Demam neneknya belum turun. Ning menangis tanpa suara. Sendirian ia meratapi nasibnya. Dia hanyalah gadis kecil yang tak kenal apa itu nasib. Yang ia tahu, siang itu main dan malam itu tidur. dan salah satu kemewahan hidup yang ia anggap surge adalah makan.
Tiba-tiba nenek terbatuk-batuk. Saat nenek berhenti batuk, Ning melihat dengan mata jengkolnya ada darah kental di telapak tangan neneknya. Cepat-cepat Ning mengambil lap dan membersihkan tangan neneknya. Tangisnya semakin deras seirama dengan hujan di luar.
“Nenek kenapa?”
Nenek hanya tersenyum dan berbaring lagi. Tiba-tiba Ning berlari keluar. Hujan sudah tak begitu deras, tapi mendung masih hitam menyelimuti. Dimana-mana genangan air. Jalan aspal itu menjadi basah semakin hitam.
Ning sampai di rumah yang ada plang putih di depannya. Satu kata pun di plang itu tak ada yang dapat Ning baca. Ning tidak hafal huruf, ia bukan anak sekolahan. Ah, Ning tidak peduli dengan plang putih dan semua tulisannya. Ia melangkah perlahan. Keramik putihh teras rumah itu menjadi bermotif kaki anak kecil.
“Assalamualaikum, bu dokter,” Ning mengucap salam.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu, Ning melihat seorang wanita muda cantik Nampak di depannya. Melihat Ning dengan tatapan heran. Mata wanita itu memandangi rambut kusut Ning, baju lusuh Ning yang basah kena’ hujan, dan kaki dekil yang membuat terasnya menjadi kotor.
“Bu dokter, nenekku sakit. Tolonglah kami. Aku ingin bu dokter meberinya obat agar lekas sembuh. Sudah empat hari ia hanya tidur dan ternbatuk-batuk. Tapi . . .” kata-kata Ning terputus tersekat di tenggorokan.
“Kami tidak punya uang,” lanjut Ning lirih. Air matanya menetes begitu saja.
“Emm, adik kecil, bu dokternya gak ada. Mungkin besok baru pulang. Sekarang kamu pulang aja ya. Udah sore ini,” kata wanita yang Ning panggil bu dokter.
Wanita itu menutup pintunya. “Ahh . . . ganggu orang lagi tidur aja,” kata wanita itu dari dalam. Ia tidak peduli pada Ning yang sudah kedinginan di luar. Terduduk menangis di lantai. Ning memandang lurus kedepan. Ia bayangkan wajah neneknya yang sedang terbaring. Wanita tua yang selama ini telah merawatnya, menjaganya, dan membesarkannya.
“Ning, bajumu kok basah, kamu darimana?” tanya nenek yang berdiri mematung di samping tempat tidur.
“Tadi aku ke rumah bu dokter. Tapi katanya dia gak ada,”
“Mau ngapain?”
“Aku mau minta obat buat nenek, biar cepet sembuh,”
“Mau bayar pake’ apa Ning? Obat dokter itu mahal,”
“Aku mau minta satu . . . uuuu aja,” ujar Ning polos.
Nenek tersenyum, “Udah, Ning gak usah khawatirin nenek,”
“Kalo’ nenek mati gimana?” tanya Ning lirih, takut neneknya marah.
Lagi-lagi kepolosan Ning menciptakan senyum di bibir neneknya. Lalu ia bangkit dan meraih Ning untuk duduk di sampingnya. “Sini Ning, mati itu Allah yang tahu. Itu namanya takdir.”
Ning diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Setelah beberapa lama berdiam, Ning bergeming, “Aku lapar nek,”
Kali ini kepolosan Ning bukan menciptakan senyuman yang mengembang. Melainkan hati nenek terasa diiris mendengarnya. Ia baru ingat, kalau ia dan cucunya belum makan empat hari ini. Nenek mendekap Ning erat. Mereka bertangis-tangisan berdua. Mencoba menerima nasib dan percaya takdir.

_______________

Ning meringis kesakitan di pembaringannya. Disampingnya, nenek masih tidur dan batuknya bertambah parah. Ning terbangun. Ia tahu hari telah pagi. Ia berjalan ke depan. Sisa-sisa hujan tadi malam masih terlihat. Daun-daun masih basah, jalanan becek, dan langit pun masih gelap. Mata Ning menatap ke atas. Ia teringat Allah, neneknya selalu mengingatkannya untuk berdo’a.
“Ya Allah, aku dan nenek sedang sedih. Perutku sakiiii . . .it sekali. Mungkin sudah benar-benar kosong. Nenek sakit. Tidak ada yang mencari uang. Allah tolong kami ya. Amien,” kedua tangan Ning yang ia angkat di depan dada ia sapukan pada wajahnya.
Ning berjalan ke arah sawah. Melompati irigasi yang berlumpur dan masih Nampak batu-batu yang berukuran sedikit besar. Wajah bocah ini pucat, badannya panas dan kakinya lemas. Tapi, ia tetap berjalan siapa ia menemukan yang ia cari. Sempat terfikir untuk nyolong lagi. Tapi ia urungkan. Neneknya pasti akan marah-marah kalau ia melakukan hal itu lagi.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, Ning melihat ada kepulan asap di pinggir kebun pak Gusman. Entah setan darimana yang membuatnya menghampiri sumber asap itu. Tak sampai satu menit ia telah berada di tempat yang dituju. Matanya terbelalak girang. Ia melihat ada sebuah singkong yang kulitnya gosong disitu. Pasti sudah matang. Kepalanya celingukan ke kana dan ke kiri. Matanya memeriksa setiap sudut yang memungkinkan. Tak ada orang. Pasti ini sudah tak dimakan lagi. Tanpa pikir panjang Ning mengambil singkong itu dan menggenggamnya erat. Ia berjalan pulang dengan riangnya tak sabar menemui neneknya. Karena hari ini mereka akan makan.
Namun belum ada sepuluh langkah ia beranjak, suara seseorang mengagetkannya. “Hei, mau nyolong lagi ya?”
Ning melihat Pak Gusman berdiri tak jauh di belakangnya. Dengan semua sisa-sisa tenaganya, Ning mengambil langkah seribu. Dia berlari menerobos pohon-pohon singkong di depannya. Tapi, Pak Gusman yang sudah sangat geram terhadap Ning tak mau kehilangannya. Terjadilah aksi kejar-kejaran di kebun itu. Ning sampai di pinggir kebun. Ia merasa kakinya lemas, kepalanya pusing. Tenaganya terasa terasa habis setelah berlari. Namun, ia kumpulkan sisa-sisa tenaganya dan mencoba melompati irigasi. Naas! Ia tak sampai dan terjatuh. Kakinya menghantam batu besar yang ada di dalam irigasi. Ah, lututnya berdarah. Tapi bukan itu yang Ning sesalkan. Singkongnya jatuh dan salah satu bagiannya kotor kena’ lumpur. Tangan kecil Ning yang sudah semakin kurus mencoba menggapai singkong itu. Belum sempat ia ambil Pak Gusman datang dan menyeretnya dari situ.
“Mau kemana kamu setan kecil? Enak saja mau mencuri. Emang kau pikir, nanemnya gak butuh duit?” ujar pak Gusman geram.
“Maaf pak, aku tidak mencuri. Aku cuma . . . “
“Cuma apa? Nyolong? Itu sama saja,” potong Pak Gusman.
“Tapi aku tidak nyolong. Aku cuma ngambil singkong bakar sisa itu,”
“Alah, alasan. Mau membantah?” bentak Pak Gusman dengan mendekatkan mukanya ke wajah Ning. Ning ketakutan dan mulai menangis. Matanya sesekali memandangi singkong yang jatuh itu.
“Aku tidak membantah pak. Aku tidak nyolong,”
Karena Ning tak kunjung mau mengakui apa yang dituduhkan Pak Gusman adalah benar, Pak Gusman semakin marah. Lalu, PLAK! Tangan kasarnya menyentuh keras pipi halus itu, hingga menjadi merah. Ning semakin takut dan terus menangis.
“Akan ku bawa kau ke pak RT, pencuri harus dihukum,” tangan pak Gusman dengan kasar menyeret tangan kecil Ning.
“Jangan Pak, aku tidak mencuri. Aku hanya mengambil singkong bakar itu. Aku dan nenek sudah lima hari tidak makan. Sekarang nenek sakit. Aku hanya ingin nenek makan walau hanya dikit. Percayalah pak,” Ning mencoba menjelaskan dengan air mata berderai-derai.
Pak Gasman menghentikan langkahnya. Genggaman tangannya melemah. “Benar?”
“Benar. Sumpah, aku tidak bohong! Biarkan aku pergi pak. Dan aku tidak akan pernah kembali lagi. Biarkan kami makan,” tutur Ning memelas.
Tangan Ning lepas. Pak Gusman memandangi gadis kecil itu terseok-seok langkahnya turun masuk ke irigasi mengambil singkong bakar yang yang sudah kotor itu. Sambil menangis, ia bersihkan bagian yang terkena lumpur dengan bajunya. Ia tak peduli bajunya menjadi kotor kena lumpur dan hitam arang. Setelah itu terpincang-pincang ia berjalan pulang. Pak Gusman mengikuti punggung Ning hingga hilang di belokan. Laki-laki itu meneteskan air matanya.
Ning menyiram lututnya dengan air. Aduh, perih! Lalu ia berjalan ke kamar dengan riangnya. Ia genggam singkong itu hingga tangannya ikut hitam.
“Nek, aku punya makanan. Ayo bangun,” kata Ning yang duduk di samping neneknya.
Nenek membuka matanya. Dengan lemah sekali, ia bangkit dan menjajari Ning. Ning memotong singkong menjadi dua. Dan memberikan bagian yang agak besar untuk neneknya.
“Kamu mencuri lagi Ning?”
“Nggak nek. Ini aku nemu. Sumpah!” ujar Ning sungguh-sungguh.
Nenek tak bertanya lagi. Ia tak ingin cucunya kecewa. Lalu ia makan singkong yang ada di tangannya. Ning pun melakukan hal yang sama. Dada nenek terasa disayat. Mengapa begitu kejam hidup ini? Untuk makan singkong sepotong saja kok susahnya minta ampun. Bagian masing-masing telah habis. Namun perut tetap perih menyiksa.
“Ning, ayo tidur sama nenek sini,”
Ning nurut. Kepalanya memang pusing dan badannya terasa gemetar.
“Nek, peluk aku ya. Aku ngantuk pengen tidur,” kata Ning liriiiih sekali. Tangan nenek melingkari dada Ning. Ning perlahan menutup matanya. Saat itu ia bermimpi. Ia memakai seragam merah putih dan sedang bermain bersama Lina. Lalu duduk dan membaca bersama. Ning bersekolah. Senangnya hari itu. Saat pulang, Ning dijemput ibu dan bapaknya. Ia berlari dengan tawa mengembang. Dengan sigap, bapaknya menggendongnya.
“Pak, kita mau kemana?” tanya Ning yang masih dalam gendongan.
“Pulang.”
“Ning ikut ibu sama bapak ya!” kata ibu yang berjalan di samping bapaknya.
“Iya,” jawab Ning riang sekali.
Tangan nenek merasakan detak jantung Ning lemah dan semakin melemah. Tubuh cucunya terasa dingin. Mata nenek berkunang-kunang. Ia merasa kepalanya berat sekali. Lalu perlahan ia menutup matanya.
“Lailahaillallah Muhammadarasulullah,” kalimat terakhir nenek ucapkan bersamaan dengan hembusan nafasnya yang terakhir.






By : Sevilla

Tidak ada komentar:

Posting Komentar