Sabtu, 24 Juli 2010

Pertemuan Terakhir

___cerpen buatan sodaraku lagi-lagi____

Rere mengayuh sepedanya perlahan. Semilir angin kota menemani perjalanan pulangnya. Temaram lampu jalan menerangi arahnya. Rambutnya yang terurai melambai-lambai dipermainkan angin. Sepedanya berbelok ke sebuah gang. Seratus meter di depan rumahnya telah menunggu.
“Ree . . .,” suara ibu terdengar memanggil dari kamar.
“Iya, tadi banyak kerjaan. Aku sudah makan kok bu, aku mau langsung tidur,” jawab Rere. Dia sudah hafal apa yang akan ditanyakan ibunya bila ia pulang lebih larut dari biasanya. Jadi sebelum ditanya, sudah ia jawab.
Dari kamar ibunya sudah tak terdengar suara lagi. Rere melepas sepatu dan jaketnya. Ia berjalan ke kamar mandi dan beberapa menit kemudian, ia pergi ke kamarnya. Tidur.



“Hei Re, dari ngebersihin kamar mana?” tanya Sandra yang bertemu Rere di lobi.
“Dari kamar 103. Udah waktunya istirahat nih, kebelakang yuk!” ajak Rere.
Keduanya kini sudah duduk berhadapan dan siap menyantap bekal makan siang masing-masing. Tak sengaja Rere melihat sesosok tubuh manusia yang sangat familiar. Seorang lelaki berjalan perlahan di taman belakang. Tangannya memegang sebuah kertas dan pulpen. Rere terus memperhatikan sosok itu. Siapa dia?
“Renata,” sapa seorang lelaki saat Rere sedang mengantri di kasir di sebuah mini market.
“Andar? Temen SMP ku ya?” Tanya Rere tagu, takut kalau-kalau tebakanya salah.
“Iya. Ini aku Andar,” sahut lelaki itu. Kemudian mereka mengobrol banyak. Saat akan pulang, Andar menawarkan diri untuk mengantar Rere pulang.
“Udah lama ya kita gak ketemu. Gak nyangka, bisa ketemu kamu disini,” Andar membuka suara. Ia berjalan disamping Rere yang menuntun sepedanya.
“Iya lama banget. Kamu banyak berubah ya,”
“Ah, gak. Gak ada yang berubah.”
“Kamu sekarang tinggal dimana? Apa gak di Bandung lagi?” tanya Rere.
“Aku masih di Bandung. Aku lagi ada tugas kantor makanya disini. Sementara ini, aku tinggal di hotel MegaLux,”
“Oh ya? Aku kerja disana ndar. Berarti yang tadi siang aku liat mondar-mandir di taman belakang itu kamu,”
“Berarti kita bisa sering ketemu dong. Semenjak ada pemberontakan itu, kita gak pernah ketemu kan? Aku pindah ke Bandung ikut tante. Ayah dan Ibuku sudah meninggal,”
“Andar,” Rere memegang punggung Andar. “Saat itu aku dan keluargaku selamat dan pindah kesini,”jawab Rere yang kini mereka sudah ada di depan rumahnya.
“Kamu beruntung, Re!”
“Mampir yuk ndar, minum kopi dulu,” kata Rere menwarkan.
“Ah gak usah Re, udah malam. Aku Cuma pengen nganterin kamu pulang aja. Gak baek cewek cantik pulang sendirian malam-malam gini,”
Rere tersenyum. Lalu ia melangkah ke arah rumahnya. Ia merogoh kantung celananya. Kunci cadangan yang selalu ia bawa kini sudah ada di tangan. Pintu terbuka dan ia masuk ke dalam. Berjalan ke kamar dan membanting tasnya di kasur. Kemudian berbaring membentuk bintang.



“Hai Re, sibuk ya?” tanya Andar dari pintu. Rere yang sedang membereskan tempat tidur menjadi kaget. Ia tersentak dan cepat kembali tenang saat ia yahu bahwa itu adalah Andar.
“Iya. Kamu ngapain disitu? Kamar kamu kan di sebelah,” jawab Rere tetap pada pekerjaanya.
“Gak apa-apa. Aku masuk ya, aku mau nemenin kamu,” kata Andar yang berjalan masuk kamar.
“Eh, jangan. Aku bisa dimarah bosku kalau aku bawa teman yang bukan karyawan hotel masuk ke kamar tamu. Kamu keluar aja ya!” ujar Rere dengan kedua tangannya mendorong punggung Andar keluar kamar.
“Ok . . . Ok . . . tapi aku pengen ngobrol sama kamu,”
“Eem, temui aku di taman jam 7 malam ya!” jawab Rere singkat dan langsung menutup pintu kamar.
Seperti janjinya tadi, Rere menemui Andar di taman jam 7. Mereka mengobrol banyak disitu. Mengenang masa SMP yang hamper pudar dimakan usia. Hal-hal lucu, menyenangkan, dan sedikit konyol membuat mereka tertawa riang. Tertawa lepas seperti dulu. Sudah tak ada canggung lagi yang membatasi. Semua keluar dan mengalir begitu saja.
“Re, kita belum pernah putus kan?” tanya Andar tiba-tiba.
Rere kaget. Tawanya yang tinggal sejumput ia telan lagi. Masih jelas terekam di otaknya, dia dan Andar pernah menjalin rasa saat di SMP. Namun, karena suatu pemberontakan yang dilakukan orang-orang asing yang tak mereka kenal, semua berakhir begitu saja. Kota mereka diporak-porandakan. Sekolah mereka dibakar. Tanpa mereka tahu apa alasan dari semua itu. Itulah saat-saat paling menyedihkan dalam hidup mereka. Yang tak pernah ingin diusik lagi. Dan, hubungan cinta Rere-Andar terpisah jarak andara mereka.
“Apa sih, itu kan cuma “cinta monyet” remaja,” ujar Rere gugup.
“Tpi aku selalu anggep itu serius. Aku gak pernah ngelupain kamu. Dulu, aku saying sama kamu dan sekarang masih sama,” kata Andar dengan sinar mata sungguh-sungguh.
“Ndar, kita kan udah lama gak ketemu. Masa’ sekali ketemu kita mau ngomongin itu sih?”
“Maaf ya Re, aku cuma mau tahu kejelasan kita,” ujar Andar pelan.
Rere diam. Ia tidak tahu harus harus berkata apa.
“Oya Re. kamu udah lama kerja disini? certain dong sama aku, pengalaman kamu, kerjaan kamu, dan semua seluk-beluk hotel ini. kamu pasti yahu dong,”
“Oh tentu! Aku sudah tiga tahun kerja disini, aku hafal setiap sudut hotel ini,”
Rere mulai bercerita. Uhh . . . akhirnya bisa lepas juga. Rere lebih senang menceritakan semua tentang hotel itu daripada harus menanggapi pertanyaan perasaan tadi. Itu membingungkannya. Andar mendengarkan penuturan Rere dengan serius. Malam begitu cepat bergerak, hingga pada titik malam dimana Rere harus segera pulang. Andar mengantarnya lagi, rumah Rere tidak jauh dari hotel itu.
“Re, tulis dikertas ini kalau kamu mau tetap meneruskan cinta yang kamu bilang cinta monyet itu. Besok pagi, berikan padaku. Kalau tidak, buang saja di kotak sampah,” kata Andar saat mereka sudah berada di depan rumah Rere.
Rere menrima kertas itu. Lalu tanpa suara Rere melambaikan tangan melepas Andar. Matanya mengikuti punggung Andar sampai hilang dalam gelap. Ia kemudia masuk rumah dan langsung ke kamae. Rere jadi tidak bisa tidur. Ia memikirkan apa yang harus ia tulis. Lho, kok malah jadi bingung mau nulis apa? Kalau tidak suka kan tinggal dibuang saja. Tapi Rere ragu. Andar lelaki yang ganteng, tubuhnya tinggi, putih dan ia pun sudah bekerja. Mungkin sesuatu kalau belum dicoba langsung diakhiri kurang adil. Rere tersenyum sendiri melihat tingkah bodohnya. Tangannya mulai menari membentuk arti.

Y Y Y

“Jadi, kamu menerima aku lagi?” tanya Andar pagi itu. Spontan ia langsung memeluk Rere.
Rere berusaha melepas pelukan Andar. “Eh, banyak orang. Malu!”
“Alah, mereka semua itu kan bule. Orang asing. Di Negara mereka hal seperti ini sudah biasa,”
“Tapi, itu ada pegawai lain. Kan gak enak diliat mereka,” sahut Rere.
“Ya udah, maaf ya sayang,”
Rere tersenyum. Hari ini status jomblonya resmi hilang.
“Eem, Re nanti siang aku harus check out. Aku sudah tiga hari disini,”
“Apa? Kok gitu. Baru aja jadian udah mau ditinggal,” ujar Rere kesal.
“Eh, gak kok sayang. Aku nasih ada di kantor cabangku. Nanti aku tinggal di penginapan bareng pegawai lain dari luar kota,”
“Nanti malam kamu ikut aku ya,” ajak Andar menwarkan.
“Kemana?”
Belum sempat dijawab, atasan Rere sudah memanggil, Rere harus kembali bekerja. Dan seperti biasa mereka berjanji bertemu di taman jam 7 malam. Lalu, mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Malam itu Andar mengayuh sepeda sedikit cepat. Rere yang dibonceng di belakang memegang pinggang Andar erat. Rere tidak tahu akan dibawa kemana. Tapi, ia diam saja. Beberapa saat kemudian mereka sampai di sebuah tempat yang menurut Andar itu adalah penginapan yang ia maksudkan tadi siang. Sepeda diparkirkan dan mereka langsung menuju sebuah kamar di ujung. Tempat itu masih sepi, belum ada satu kamar pun yang berpenghuni. Andar membuka pintu dan langsung masuk. Rere ikut saja.
“Ndar, jangan ditutup deh pintunya,” cegah Rere.
“Oh, kamu takut ya? Tenang. Aku gak bakalan ngapa-ngapain kamu kok,”
Andar melangkah ke dalam. Ia membereskan baju-baju yang ada di tasnya dan menatanya di lemari yang ada di depannya. Melihat itu, Rere tergerak untuk membantu. Ia membuka tas Andar yang ada di dekat pintu.
“Ndar, itu tali unutk apa?” tanya Rere melihat ada tali tambang di atas meja.
“Oh itu untuk buat jemuran nanti,” jawab Andar dengan tetap sibuk pada tasnya.
Tapi tiba-tiba Rere menjadi sangat terkejut. Ia merasa aneh dengan apa yang ia lihat di dalam tas Andar. Ada gulungan kabel, beberapa botol yang berisi bubuk-bubuk aneh. Dan benda-benda lain yang terkesan asing di penglihatan Rere.
“Lalu, yang di dalam tas ini apa?”
“Hei, kamu gak boleh membuka tas itu,” teriak Andar dan langsung menghampiri Rere. Dengan gugup dia menutup tasnya.
“Katakan, apa itu Andar?” tanya Rere penasaran.
“Kamu tidak perlu tahu,”
“Kenapa? Kamu tidak percaya padaku?” desak Rere.
Andar terdiam beberapa saat. Ia menatap Rere yang mengharap jawabannya. Akhirnya Andar membuka mulut juga. Lagipula Rere sudah terlanjur melihat semua itu.
“Ini adalah alat-alat yang aku gunakan untuk membuat . . . “ kata-kata Andar terputus.
“Bom!” lanjut Andar kemudian.
Rere sangat terkejut. Ia merasa ada yang aneh dengan perasaanya. Ia pun merasa tidak percaya dengan pendengarannya. Benarkah ucapan Andar?
“Apa maksudmu ndar?” tanya Rere untuk meyakinkannya.
“Maaf Re, aku tidak memberitahumu masalah ini. aku berniat menghancurkan hotel itu. Aku menaruh bom disitu,” kata Andar lagi.
“Kau bercanda kan?” tanya Rere yang masih belum percaya.
“Nggak Re, aku gak bercanda,”
“Tapi kenapa? Jadi kamu seorang teroris?”
“Iya, kau boleh menyebutku begitu seperti para polisi yang sedang mencariku,”
“Andar, ini tidak benar. Bahkan salah besar!”
“Apa kau sudah lupa dengan pemberontakan dulu? Orang-orang asing itu menghancurkan kota kita. Dan yang ada di hotel itu mayoritas orang asing kan?” Andar mulai tersulut emosi.
“Tapi bukan mereka pelaku pemberontakan itu. Mereka tidak tahu apa-apa. Kau bisa membunuh orang-orang yang tidak bersalah,”
“Semua orang itu sama. Kamu tahu apa yang mereka lakukan pada orang tuaku? Mereka membakar ayahku. Mereka memperkosa ibuku dan kemudian mebunuhnya. Apa salah yang dilakukan Ayah dan Ibuku pada mereka? Tidak ada kan? Dan seperti tanpa dosa mereka melakukan semua itu di depan mataku,” Andar terisak mengingat kejadian yang teramat menyedihkan itu.
“Andar . . . aku tahu, kamu sangat bersedih dan kehilangan. Tapi, orang-orang asing yang ada di hotel itu bukan musuhmu. Itu pun sudah bertahun-tahun silam kan?”
“Aku sudah bilang, semua orang asing sama saja. Kau tidak mengerti Re. Pokoknya aku akan tetap menghancurkan hotel itu,” suara Andar sedikit keras.
“Apa kamu tidak merasa berdosa? Yang ada di hotel itu bukan pelaku pemberontakan. Mereka sudah diadili. Aku mohon, hentikan tindakan bodohmu Andar,”
“Aku belum mengadili para saudara mereka kan? Kita tak tahu apa yang akan dilakukan mereka besok. Dendamku sudah memuncak. Kamu tidak bisa menghentikan ini semua,”
“Tapi, bagaimana dengan para pegawai? Pak satpam? Kau akan membunuh mereka yang juga teman-temanku. Kalau mereka mati, bagaimana nasib anak-anak mereka? Lalu aku? Aku akan kehilangnan pekerjaanku. Ibuku hanyalah wanita tua yang lumpuh. Aku harus menghidupiny. Kau tetap yak peduli?”
“Maaf Re. tekadku sudah bulat,”
“Kau setan! Kau lebih kotor daripada pelaku pemberontakan itu,” umpat Rere keras.
“Kenapa kamu bicara keras padaku? Bahkan kau ikut membantuku. Kamu menceritakan seluk-beluk hotel itu, hingga aku mendapatkan tempat yang strategis,”
“Kau benar-benar jahat. Kau manfaatkan aku untuk niat jahatmu. Aku benci kamu!” Rere menangis. Kemudian dengan kuat ia menendang dada Andar hingga lelaki itu jatuh tersungkur.
“Tapi aku mencintaimu Re. makanya aku mengajakmu kesini, karena aku tidak mau kau mati,”
Rere mendaratkan kepalan tangannya ke wajah Andar. Lalu dengan sigap ia mengambil tali di atas meja lalu mengikat tangan Andar di belakang punggung.
“Katakan! Dimana bom itu kau letakkan?” tanya Rere lagi.
“Aku tidak membiarkanmu menghancurkan rencana besar yang sudah aku persiapkan sejak lama. maaf Re,” jawab Andar menahan perih bibrnya yang pecah di pinggirnya.
“Katakan Andar!” bentak Rere keras.
“Lgipula kau sudah terlambat. lima menit lagi bom itu akan meledak,” Andar tersenyum menang.
Rere menangis kuat. Bagaimana mungkin ia pernah mempercayai seorang teroris. Lalu, tanpa pikir panjang Rere berlari keluar menemui sepedanya. Dengan terisak ia mengayuh sepedanya. Rupanya hotel itu lumayan jauh. Rere berusaha lebih cepat. Dengan pikirannya yang kacau, Rere mencoba menebak dimana Andar meletakkan bom-nya. Namun hotel itu terlalu besar. Ada ribuan kamar dan ruang. Tidak mungkin hanya dalam waktu sesingkat itu ia akan memeriksa semuanya. Ahh . . . Apa yang harus aku lakukan?
Beberapa menit kemudian, terjadilah suatu insiden besar yang membuat semua orang terkejut. Beberapa orang polisi di jalanan tetap menjalankan tugasnya walaupun ledakan telah terjadi. Bom telah meledak. Semua hancur. Bangunan hotel yang megah itu tak tersisa lagi. Kini hanya tinggal bongkahan bangunan yang terbakar. Berpuluh mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk menjinakkan api. Dari jarak yang lumayan jauh, Rere menatap semua itu dengan mata sembabnya. Perasaannya campur aduk membingungkan. Ia masih terpaku di tempat. Terdiam melihat yang ada di depannya.


Y Y Y

Di ruang besuk Rere menunggu dengan menundukkan kepalanya. Pikirannya kalut menerawang. Hatinya kusut terasa, tak bisa meraba. Seorang lelaki berseragam nara pidana berjalan ke arahnya dengan seorang polisi di belakangnya.
“Hai Re,” sapa lelaki itu.
Rere memeluknya. Ia menangis terisak di dada Andar.
“Kamu kenapa Re?” tanya Andar lembut.
“Ma . . .aaf,” ucap Rere tersedu. Kemudia mereka duduk bersandingan di bangku.
“Ini aku bawakan soto ayam. Aku harap, makanan kesukaanmu masih sama seperti waktu kita SMP dulu,”
“Waktu kau pacarku,” seloroh Andar sambil membuka kotak makanan yang dibawa Rere.
“Hari ini pun aku masih pacarmu,” kata Rere pelan.
“Aku bangga punya pacar sehebat kamu. Kamu bisa mengeluarkan semua tamu dan pegawai dalam waktu sesingkat itu,”
“Aku bingung harus berbuat apa. Lalu aku ke ruang pemberitahuan dan memberitahukan tentang bom itu. Mereka percaya padaku. Dan mereka mau keluar bersamaku. Ternyata bom-mu itu tidak meledak lima menit lagi kan? Masih ada waktu setengah jam lagi saat itu,”
“Iya, kau hebat. Kau pahlawan bagi mereka semua,”
“Tapi penghianat bagimu,” sambung Rere.
“Tidak. Kau pahlawan hatiku. Kau membuat aku tidak membunuh mereka. Hanya hotel itu yang aku hancurkan,”
“Tapi sebelumnya kau sudah banyak membunuh orang asing di banyak tempat kan?”
“Iya.” Andar menunduk merasa bersalah. Rere menangis lagi.
“Tapi setidaknya aku sempat bertaubat. Dan yang aku tahu Tuhan maha pengampun,”
“Kau benar. Ayo habiskan sotonya,” tegur Rere melihat soto ayam itu belum terjamah sedikit pun.
“Besok kita sudah tidak bisa bertemu lagi. Kau telah menghadirkan hari-hari terindah bersamamu. Dan soto ayam ini salah satunya,” kata Andar yang membuat hati Rere terasa teriris mendengarnya.
Melihat Andar begitu lahap menghabiskan soto ayam buatannya Rere merasa sangat senang. Kemudian mereka berbincang-bincang lagi. Bercerita banyak sekali.
“Rasanya masih banyak yang ingin aku katakan. Tapi, aku tidak tahu apa itu,”
“Benarkah? Kalau begitu kita sama. Aku masih ingin di sampingmu,” sahut Rere membenarkan ucapan Andar.
“Re, aku sayang kamu,”
Rere mengangguk. “A. . .aaaku, aku . . .” Rere tidak menyelesaikan kata-katanya. Andar menutup bibirnya dengan satu kecupan hangat.
“Aku tahu. Kita saling mencintai,” kata Andar dengan melepas cincin yang ada di jarinya dan memberikannya pada Rere.
Waktu besuk habis. Rere harus pulang. Ia melepas Andar dengan pelukannya. Tangisannya mengantar Andar kembali ke balik jeruji besi. Duduk termenung sendiri menanti nasib. Wajah Rere, Renata Syafira, terbayang di depan mata. Andar tetap tersenyum walau air matanya mengalir deras. Seorang wanita, pacarnya, telah membuka hatinya. Ia siap menerima eksekusi besok. Untuk mebayar semua perbuatannya.
Rere mengayuh sepedanya pelan. Air matanya belum bisa berhenti. Kalau Andar sudah siap untuk dieksekusi, tidak untuk Rere. Ia belum siap kehilangan Andar. Ia genggam erat cincin pemberian Andar. Satu-satunya sisa kenangan tentang lelaki itu. Rere sampai di sebuah kafe. Rere mengusap pipinya yang basah. Ia menatap jauh ke angkasa. Andar tersenyum hangat disana. Lalu Rere menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Ia siap bekerja dan menjalani hari-harinya seperti dulu saat ia belum bertemu lagi dengan Andar.







By : Sevilla

Tidak ada komentar:

Posting Komentar